December 14, 2017

Five Interesting Things About Hanoi

Xin chào!

That is the Vietnamese way of saying hello. Saya nggak tiba-tiba bisa bahasa Vietnam kok. I learned it from my trip to Hanoi. Yep, my colleagues and I did visit Hanoi two weeks ago! Saya pergi berenam bareng sahabat sepayung skripsi saya, Daniel dan Isol, beserta dua orang mahasiswa S3, plus pembimbing skripsi saya juga. Kami pergi dari Jakarta tanggal 27 November dan pulang lima hari kemudian. Kalau ada teman-teman yang tanya kenapa line up orang-orangnya akademis banget, that's because we went to Hanoi to attend an international psychology conference!

Singkat cerita, saya dapat kesempatan untuk dibimbing pengerjaan skripsinya sama seorang dosen yang luar biasa kece. Kayaknya saya harus bikin post terpisah kalau mau nyeritain betapa kecenya beliau dan betapa seru-nya riset dibawah bimbingan beliau. One of  her "terms and conditions" was that as her supervised student, I had to get my undergraduate thesis slash research published in an international or national scientific journal OR presented in an international conference.

So, there I was in Hanoi with Daniel and Isol; menepati janji. Setelah menggabungkan skripsi masing-masing jadi satu research paper yang komprehensif, kami diarahkan untuk submit abstrak ke salah satu konferensi internasional milik IAAP, International Association of Applied Psychology, yang kebetulan diselenggarakan di Hanoi. Alhamdulillah ternyata abstraknya diterima dan kami dapat undangan untuk presentasi! Jadilah kami semua berangkat. It was our first time attending an international conference, so we were very excited.

The conference itself was awesome. We had this amazing opportunity to connect with a lot of great minds from all over the world, to get ourselves updated about the latest insightful psychological researches, and most importantly to share our own research! Our nine months of hard work; hasil baca puluhan jurnal, begadang sampai subuh, pergi ke empat arah mata angin buat ambil data penelitian, enam jam nonstop berkutat di ruang bintang demi ngulang semua analisis statistik (sampai dibeliin makan siang loh sama Mba Ori; itu segokil-gokilnya hari), sampai sembilan jam remote working merampungkan paper bareng-bareng. 

I got the honor (baca: tumbal) to be the first author and presenter.

Beberapa hari sebelum saya berangkat ke Hanoi, tiba-tiba beberapa teman kontak saya dan bilang "Denger-denger yang bakal present di Hanoi nanti elo ya? Gila lo jago banget" and all I could say was "Kaga anjir, gua ditumbalin sama Daniel Isol".

Ketika pada akhirnya beres presentasi (I surprisingly had a zen moment presenting our research btw), akhirnya saya bisa bilang "We finish strong!".

Tapi beneran deh, konferensinya insightful banget. We learned so many things. Selama empat hari konferensi, ada banyak workshopspoken session, dan symposia session yang terbuka bagi siapapun yang tertarik untuk hadir. Topik-topiknya juga beragam dan seru banget, mulai dari psikologi klinis sampai industri/organisasi. I had this chance to learn about how to implement person-organization fit in the recruitment process (which is truly awesome) and about some interesting stuffs, like how Japanese people view true happiness. There was a psychology professor from Japan who shared his study, and he found that the ideal happiness of the Japanese people is when happiness and unhappiness are 50:50. And it's for an interesting reason: there's no room for improvement and development if we are 100% happy, and we also cannot know the concept of happiness itself if we don't feel sad or sorrow. That's definitely a new perspective in viewing life.


Sepulangnya dari Hanoi, saya dapat pertanyaan standar dari orang-orang: jadi, gimana Vietnam? Reaksi pertama saya pasti ketawa. The answer is that apart from the conference, Hanoi itself was interesting. Saking menariknya, kalau diinget-inget saya pasti ngakak. And I think these stories below are worth sharing.

Hal pertama yang bikin Hanoi menarik adalah jalanannya. The traffic was crazy. Like, CRAZY. Jalanan di Hanoi itu besar banget. Satu jalur bisa berisi empat lajur, terus trotoarnya juga lebar-lebar. Bahkan pembatas jalannya juga lebar-lebar sampai banyak mobil parkir di tengah jalan. Bahkan di tengah jalan juga ada yang buka bisnis cukur rambut bawah pohon!! Kliennya kayak abang-abang atau kakek-kakek gitu.

Lalu.. di Hanoi juga banyak banget motor, mulai dari Vespa seri terbaru sampai Honda dua tak kayak di filmnya Dono Kasino Indro. Terus helm yang dipakai disana juga lucu-lucu! Bukan helm SNI, tapi lebih mirip helm batok. Kadang-kadang bagian belakang helmnya sengaja didesain juga supaya nggak bikin rambut cewek berantakan kalau lagi dikuncir; jadi kayak ada bolongan buat kuncir rambut gitu. As weird as it may sound, that kind of helmet does exist. Saking uniknya helm di Hanoi, Daniel sampai sempat nyesel nggak beli helm buat oleh-oleh (sementara Isol hanya menanggapi dengan "lo bawa ke Jakarta juga kaga bakal bisa dipake").

Dan poin terakhir mengenai jalanannya Hanoi adalah.. SEMUA ORANG NGEBUT!! Mobil, motor, dan sepeda berseliwiran kesana kemari dengan kecepatan tinggi. Belok kanan kiri dan nyalip seenaknya. Tapi nggak ada yang nabrak!! Dan nggak ada yang buka jendela terus rusuh teriak-teriak ngajak berantem kayak di Indonesia. Semua pengendara mobil dan motor tampak super santai dan cuek gitu. It was really interesting. Walaupun emang berisik banget sih. Orang-orang disana hobi banget bunyiin klakson.

Selama di Hanoi, saya dan teman-teman selalu berpergian naik Grab Car. Daniel atau Isol biasanya kebagian duduk di depan (steering wheel mobil-mobil di Hanoi ada di sebelah kiri btw, menarik juga karena rata-rata mobil Asia steering wheel-nya di kanan). Awalnya kami semua stess kalau udah naik mobil. Sumpah ya harus coba sendiri sih biar tau rasanya kayak apa. Tapi lama-lama kayak.. yaudah lah mau gimana lagi. Akhirnya cuma pasrah sambil ngakak kalo berasa mau nabrak orang.

Right after we arrived in Hanoi and settled in our hotel, we went out to explore the city. Pemandangan pertama yang saya lihat ketika naik Grab Car di sebuah jalanan kecil yang super ramai sama kendaraan adalah.. seorang bapak-bapak yang naik sepeda sambil gendong bayi.

SAMBIL GENDONG BAYI.

Jadi tangan kanan bapak-bapak ini pegang stang sepeda, sementara tangan kirinya gendong bayi. Nggak ada tali gendongan atau apapun. Digendong pake tangan kosong aja. Dan bapak-bapaknya sans abis gitu. Bangke banget berasa nyawanya ada sembilan.

Not to mention that SEMUA ORANG NYEBRANG DIMANA AJA!! Anjir ini paling gokil. Orang-orang di Hanoi beneran nyebrang sesuka hati di tengah-tengah jalanan yang segokil itu. Tapi nggak ada yang ketabrak juga!! Saya Daniel sama Isol awalnya takut banget kalau harus nyebrang jalan di Hanoi, namun lama-lama kami juga beradaptasi dan akhirnya melebur bak warga lokal; dengan yolo-nya nyebrang di perlimaan gede tanpa lihat kanan kiri lagi.

Jakarta nggak ada apa-apanya dibanding Hanoi.


Ngomong-ngomong, saya belum sempet merasakan naik Grab Bike di Hanoi. Penasaran banget tapi nggak berani karena takut masuk angin atau bahkan meninggal di jalan. Kebetulan Daniel dan Isol punya openness to experience yang lebih tinggi dari saya. Mereka literally coba berbagai hal, mulai dari jajan snack-snack mecin yang nggak ada di Indonesia sampai jalan kaki dari tempat konferensi ke hotel. They even know where to buy good and cheap cakes and banh mi. Dan mereka juga jalan-jalan ke Old Quarter di malam terakhir kami di Hanoi. I wanted to come along but I didn't feel well, so I ended up staying in my room.

Ada car-free night setiap Jumat, Sabtu, dan Minggu di sekitar Hoan Kiem Lake. Daniel sama Isol bilang, car-free night nya bagus dan teratur banget, lebih teratur dari Indonesia. Terus banyak banget hal-hal yang bisa ditemukan disana. Ada anak-anak sekolahan yang tiba-tiba flashmob, pengamen nyanyi-nyanyi, orang sulap dan mini sirkus.. Kalo kata Daniel sih macam tempat gaul dan unjuk giginya anak-anak gaul Hanoi banget gitu. Ada banyak juga pasar kaget yang menjual berbagai souvenir dengan harga miring.

Pulang-pulang, mereka naik Grab Bike. Karena udah larut dan jalanannya sepi, mereka bilang sih kurang adrenaline rush aja dibanding kalau naik Grab Car. Tapi yang pasti udaranya dingin banget. Nggak lagi-lagi pulang malam naik Grab Bike di Hanoi saat bulan November.


Hal kedua yang membuat Hanoi menarik adalah iklimnya. Sebenarnya yang membuat ini menarik adalah karena sejarahnya agak tolol. I didn't do much preparation prior our departure due to not having enough time to browse things or to think about tiny details. Jadilah saya berangkat ke Hanoi dengan asumsi bahwa cuacanya akan panas atau hujan karena masih iklim tropis (mau gimanapun juga Vietnam itu ada di sebelah Thailand kan?!!?! KAN??!!?!)

Ternyata.. disana lagi musim gugur menjelang musim dingin.

Saya, Daniel, dan Isol mulai menyadari ada yang janggal ketika merasa bahwa udara di dalam airport lebih hangat dibanding udara di luar airport. Waktu kami jalan-jalan malam di sekitar Hoan Kiem Lake, udara dan anginnya juga dingin banget until we went like "ANJIR SIAPA NIH YANG BILANG HANOI PANAS??". Selain itu, semua penduduk lokal juga mengenakan mantel atau jaket tebal. Barulah kami sadar bahwa Hanoi, karena letaknya yang ada di ujung utara Vietnam deket banget ke Cina, ternyata beriklim subtropis; punya empat musim. Musim gugur dan musim dinginnya nggak sampai yang bersalju sih, tapi ya lumayan lah suhu ruangan kalau pake AC. Di sekitaran 15-17 derajat celcius. Kalau lagi musim dingin, bisa sampai 10 derajat celcius.

Mati banget kan. Pulang-pulang dari Hanoi, saya langsung pilek.


Hal ketiga yang membuat Hanoi menarik adalah makanannya! Orang-orang Hanoi nggak biasa makan nasi. Mereka lebih banyak menyuguhkan mie, bihun, atau roti. You must have heard about pho and banh mi. Mereka juga semacam doyan banget makan daging babi. All restaurant in Hanoi serves pork, except the vegetarian one. It was really hard for Isol and I to find something to eat. Menurut saya, cari makan di Hanoi jauh lebih sulit dibanding cari makan di Tokyo atau Kyoto; at least they have sushi, and they love chicken and beef. It felt like everyone in Hanoi only eats one kind of meat, which is pork. Sesusah itu cari ayam atau daging sapi. Kami pun berakhir lebih sering makan rerumputan selama di Hanoi.

Tapi sayuran di Hanoi enak banget dan segar-segar! Spring roll-nya mantap banget.


Hal terakhir yang membuat Hanoi menarik adalah arsitektur gedung, ideologi negara, dan orang-orangnya. Banyak banget gedung-gedung jadul bergaya Eropa hasil jajahan Prancis. It also took me several days to realize that I freaking came to a communist country. Sumpah logo palu arit bertebaran dimana-mana. Saya Daniel sama Isol rasanya pengen beli satu oleh-oleh yang ada logo palu aritnya, tapi kok takut ditolak negara pas masuk bandara Soekarno-Hatta. Kami pun dengan setengah kecewa mengurungkan niat.

Orang-orang di Hanoi (dan Vietnam pada umumnya) sangat menghormati dan memuja Ho Chi Minh (atau Uncle Ho, kalau dari hasil browsing Isol) to the extent that they sort of treat him like a God. Ho Chi Minh ini bisa dibilang semacam Bung Karno-nya Vietnam; tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan dan akhirnya memerdekakan Vietnam, dengan berkiblat dan minta bantuan ke Uni Soviet. Kami sempat jalan-jalan ke museum Ho Chi Minh dan melihat bagaimana sejarah negara dinarasikan. Betapa Vietnam sangat berterimakasih dan menghargai persahabatan mereka sama Rusia. Dan banyak foto Ho Chi Minh, Lenin, plus Karl Marx juga. Karena baru kali itu saya ke negara komunis, rasanya menarik banget bisa lihat hal-hal semacam itu.

Orang-orang Vietnam juga nggak bisa bahasa Inggris! We had a major problem in communicating with locals. Beli pisang di minimarket aja sampai harus browsing gambar pisang dulu baru pegawainya ngerti kami mau beli apaan. Dari sekitar dua puluh Grab Car yang kami pesan, cuma ada satu supir yang berani menginisiasi percakapan bahasa Inggris, sementara sembilan belas lainnya membisu selama perjalanan. Tapi semuanya cukup ramah kok. Dan sebagian besar mau belajar.


The best thing about Hanoi was its egg coffee. Wah itu juara. Saya udah membulatkan tekad banget kalau saya harus minum kopi Vietnam ketika ke Hanoi. Kesampean juga minum kopinya malam-malam beres presentasi di konferensi. We came to one of the oldest coffee shop in Hanoi, Giang Cafe, to hunt down this signature coffee. Egg coffee-nya enak banget sodara-sodara. Parah. The coffee was sour, but the combination of the egg yolk kinda sweetened and made it creamy. It was also very strong; the egg coffee allowed me to do stupid things with more energy that I stayed up until late 1 am in the morning (saya bayi banget selama di Vietnam; karena capek berkegiatan + kedinginan seharian, biasanya jam 10 atau 11 malam udah tidur). Kalau teman-teman berkunjung ke Hanoi, wajib banget minum kopi telurnya. Giang Cafe juga menjual bubuk kopi buat dibawa pulang. Harganya sekitar 500.000 dong per kilogram, atau sekitar Rp350.000.

Kafenya jadul banget ngomong-ngomong. Super unik.


So.. that's it. Kalau saya harus menilai Hanoi dalam kontinum positif-negatif, secara garis besar sebenarnya agak sedikit negatif. The traffic, the people, and the food were just.. too difficult. But I can say in confidence that Hanoi is very interesting. Everything felt really historical and I am incredibly grateful to be given a chance to experience the city, and the country. Saya nggak punya banyak waktu untuk petakilan kesana-kemari selama di Hanoi karena tujuan utama saya ke sana memang bukan untuk main, tapi kalau ada kesempatan lagi untuk pergi ke sana, saya akan ambil. Soalnya masih banyak tempat yang belum saya jelajahi, dan masih banyak juga pertanyaan seputar budaya Vietnam yang masih belum terjawab karena saya belum sempat tanya langsung ke warga lokalnya. I could see myself coming back in the future.

You have to try coming to Hanoi as well and feel the vibes!

No comments

© La Valse des Mots
Maira Gall