February 23, 2019

And Not to Yield

Seharusnya ini jadi post akhir tahun lalu, tapi saya kurang tergerak untuk menyelesaikan tulisan saya sendiri. Semoga belum basi ya. Anggaplah madingnya belum terbit.

Kalau harus merangkum kesan tahun 2018, saya mau mengutip tulisan sendiri di post akhir tahun 2016 lalu. "This year got me beaten up like shit". A different level of shit, if I must correct it. Setelah kembali babak belur selama kurang lebih 350 hari sejak 1 Januari 2018, saya memutuskan untuk mengambil cuti akhir tahun, sedari sebelum natal hingga setelah tahun baru kemarin. Saya pulang ke rumah di Bandung dan menghabiskan waktu bareng keluarga. Rasanya bagai anak kuliahan yang lagi liburan semester.

Saya menghabiskan seminggu terakhir di tahun 2018 lalu dengan baca buku, tidur, nonton Running Man, makan Indomie dua hari sekali (basically turning into a couch), dan belajar mengetik dengan 10 jari. Kegiatan terakhir adalah kegiatan yang saya tekuni dengan super serius. Kira-kira tiga bulan lalu, saya sempat berkunjung ke meja teman saya yang kebetulan seorang software engineer. Saya minta doi untuk bantu saya ngecek code yang dikirim kandidat (for the past year, I had been working as a recruiter for my tech team, and the role gave me a privilege to receive code submissions from engineering candidates and actually take a look at their codes). Pada kesempatan itu, saya harus ngetik beberapa command line di depan teman saya tersebut, dan saya tiba-tiba menyadari betapa tidak efisiennya cara saya mengetik. I know so because (1) I know that my friend types faster and (2) one of the indicators of an outstanding engineer is his/her ability to swiftly type code with 10 fingers.

Saya tahu saya bukan engineer, tapi setelah mengobservasi sekeliling saya dengan lebih seksama, banyak juga teman-teman non-engineer di sekeliling saya yang bisa mengetik dengan 10 jari. Saya jadi tergugah untuk bisa melakukan hal yang sama. And so I've been practicing ever since. Post ini juga diketik dengan 10 jari loh. Sebuah kebanggaan yang sangat receh.


Jadi, selama satu minggu terakhir di penghujung tahun lalu, saya bertransformasi menjadi manusia gua. Keluar rumah cuma beberapa jam di satu hari buat ketemuan sama Ninet, Adi, dan Fajar yang kebetulan lagi di Bandung juga. Ketika itu, saya tahu kalau saya ada di penghujung tahun, dan menulis post akhir tahun adalah rutinitas yang saya tekuni sejak entah tahun berapa. Rasanya ingin banget nulis, tapi tekad saya belum sekuat itu kemarin. It was also kind of scary to storytell 2018, as I can say it's too sensitive to share.

© La Valse des Mots
Maira Gall