May 24, 2020

On Forgiving and Writing

Wow, it's been more than a year since the last time I wrote! Banyak banget hal yang saya lakukan tahun lalu, kebanyakan terkait kerjaan dan lainnya, sampai nggak punya banyak waktu senggang buat menekuni hobi. Nulis blog nggak kepikiran, namatin satu RPG pun harus makan waktu satu tahun.

Saya sempat liburan ke Jepang lagi di bulan Oktober lalu. Waktu pertama kali ke Jepang di tahun 2016, persiapan saya nggak main-main: saya ngulang belajar bahasa Jepang, sampai ambil ulang Nouryoku Shiken (TOEFL / IELTS nya bahasa Jepang) untuk memastikan kalau saya bisa ngomong bahasa lokal dengan cukup fasih selama berlibur. Sementara itu, persiapan buat liburan di Oktober lalu.. cuma modal skimming common vocabulary dan tenses-nya aja selama 30 menit, dua hari sebelum keberangkatan. Lol. Nggak ada waktu lebih banget buat review hiks mau nangis. Alhasil selama di Jepang ngomong bahasa Tarzan.

Waktu saya dan Virgi pergi dari hostel buat cari makan malam, petugas hostelnya bilang "iterasshai", malah saya bales "tadaima". Kan geblek.

Tahun lalu, saya dapat hadiah ulang tahun RPG dari teman saya. Mulai main di bulan April 2019, tamatnya di bulan Maret 2020. Padahal gameplay-nya cuma kisaran 30-40 jam!! What on earth. Beda banget dibanding pengalaman main Final Fantasy XV habis skripsian dulu. Waktu itu game-nya bisa tamat hanya dengan main 35 jam saja selama 5 hari. Saya nggak tau pencapaian namatin satu RPG yang sangat lelet ini apakah disponsori oleh nggak ada waktu, game-nya nggak se-engaging RPG lain, atau minat saya main game udah mulai pudar seiring dengan bertambahnya usia. Atau bahkan kombinasi dari semuanya.


Anyway, things have been winding down lately. Somehow. It is actually strange to give such a statement amid this sudden pandemic, because this dire time actually leaves me with a lot of things to do and to think about. But I end up having more time to do stuff that I like, partly to maintain my sanity. Saya belajar bahasa Jepang lagi, main game lagi, dan nulis lagi.

Ada satu topik yang berulang kali saya pikirkan selama di rumah aja dalam 2-3 bulan terakhir ini. Tiba-tiba sering muncul sebelum tidur, terus bikin merenung dan analisis diri dadakan. Kemudian saya sadar, ternyata pikiran ini udah berulang kali muncul bahkan sebelum pandemi, tapi nggak pernah saya anggap serius. I have never really poured my attention to think about the thoughts and act upon them.

It is about forgiving.

It is about realising that you have been carrying a lingering scar for more than a decade, and that you need to forgive in order to let things go.

Awalnya saya teringat akan masa kecil saya. Life is surely not rainbow and unicorn all the way as shit happens. Rasanya nggak enak ketika teringat kejadian-kejadian yang nggak menyenangkan. Menariknya, memori saya akan kejadian-kejadian tersebut terasosiasikan dengan sosok tertentu. Lalu rasanya makin nggak enak.

I imagined what would happen if I met those figures again. I was staggered to find my own answer: I think I would spit on them. I would rather not meeting them at all ever again than having to fake my own emotions, because it would be insufferable. 

And on that moment, folks, I knew I seriously need fixes.


Embracing the fact that you have been holding a grudge for +10 freaking years is not easy. Saya masih secara sadar berusaha denial dengan nggak mau mikir lebih lanjut. Tapi terus saya bertanya-tanya sendiri, mau sampai kapan begini? Rasanya juga nggak sehat kalau hal macam begini harus dibiarkan berlarut-larut.

Kalau udah ngomongin soal rasa benci, saya selalu ingat sama kutipan favorit saya dari novelnya Haruki Murakami. Kutipan ini jadi pilihan saya untuk ditampilkan di blog ini semenjak akhir 2018 lalu. "Hatred is like a long, dark shadow. It is like a two edged-sword; when you cut the other person, you cut yourself. The more violently you hack at the other person, the more violently you hack at yourself. It is very dangerous. Once it has taken a root in your heart, hatred is the most difficult thing in the world to eradicate."

Which leads me to the next important question. "How do you eradicate such a strong resentment that has unconsciously been accompanying you in almost half of your developmental journey as a human being?"

Saya suka banget sama teori perkembangan psikososialnya Erik Erikson. Menurut teorinya Erikson, sekarang saya ada di tahap perkembangan early adulthood. This hard feelings have been silently feeding from me since the time I developed my competence virtue. Bangsat.

It is fascinating though, that you still learn new things about yourself every day. Even after formally analysing yourself three times, using various developmental and personality theories, throughout your college years.


Setelah berulang kali refleksi diri, ada dua kesimpulan yang bisa saya tarik. Pertama, saya harus memaafkan, demi mental yang lebih sehat dan demi nggak masuk neraka (ini serius). Kedua, memaafkan dimulai dari terlebih dahulu menyadari kalau kita memang butuh memaafkan. The second point is crucial because it is true, at least for me. That one action item "to forgive" would have never crossed my mind if I did not realise that I was hurt by others years ago, and that it lead me to dislike them.

Hal ini dikonfirmasi oleh seorang dosen saya ketika beliau jadi pembicara di sebuah sesi webinar yang diadakan oleh almamater kami. Sesinya waktu itu bertema self-compassion dan forgiveness. Rasanya sungguh semesta mendukung ada webinar dengan topik beginian. Forgiveness does start with acknowledging our pain and scars; being mindful of the injustices that happened and how they affected our lives. We then decide whether to forgive or not, according to our own definition of forgiveness. Harusnya, saya udah sampai di fase ini. Harusnya.

Because forgiveness is a process. It is completely normal reaching a certain stage only to go 2-3 steps back at certain circumstances. Hearing this part, I know I just need to take my time to process everything.

After deciding to forgive, we can try to look at the injustices from different perspectives. I think empathy plays a key role here. Di fase ini, kita bisa berusaha memahami sudut pandang orang yang memperlakukan kita dengan nggak adil. Setelah itu, emosi kita bisa berangsur-angsur lebih positif. 

So much for keeping a pure heart ya.


Saya juga bertanya-tanya, apakah saya bisa sukses memaafkan atau nggak, karena saya tau prosesnya nggak mudah. Kalau di masa depan ada kejadian kayak gini lagi, kira-kira saya bakal tau nggak ya saya harus ngapain? Jawabannya: saya yakin saya tau. Saya bisa lihat kemungkinan saya lupa, tapi saya yakin akan ada yang bisa mengingatkan saya. Hal ini berkaitan dengan topik selanjutnya yang mau saya bahas: blogging.

I have blogging for 11 years!!!

Wow!!!!! 

Kalau ditanya apa motivasi di balik bikin blog untuk pertama kalinya, jujur saya juga lupa. Kayaknya waktu itu karena iseng aja. However, I do remember that the main purpose and the main posted topic of this blog do evolve. It was once to mostly share about interesting movies that I watched, then it was once to share stupid things that me and my friends did at school. Beberapa minggu lalu, saya sempat baca ulang post tahun 2010. Bego banget, ada cerita tentang satu kelas nyontek pas UAS, dan satu teman saya yang malah ngafalin tulisan di bungkus koyo sebagai ganti ngafalin aksara Sunda buat ujian.

Without me realising, it has been changed to mainly share my scattered thoughts, thus the "mind antechamber". I treat this blog as an antechamber where I can gather and present my deepest thoughts and feelings to other people. In the most implicit way possible. Hehehe.

Sometimes I revisit my old posts. Ada cerita-cerita lucu yang bikin nostalgia masa sekolah. Ada juga beberapa rekomendasi pop culture macam game, buku, atau film. Heck, there are even cheesy post-breakup and unrequited love narratives. Tapi yang paling banyak adalah refleksi diri. Selain refleksi kecil-kecilan, kebetulan saya juga rutin nulis refleksi diri setiap bulan Desember dalam beberapa tahun terakhir. Biasanya saya cerita tentang pembelajaran menarik yang saya dapatkan selama setahun belakangan.

And so this blog has been keeping track of my own development. It shows me how far I have grown. Kadang saya baru teringat kalau saya pernah mengalami sesuatu, atau belajar sesuatu, setelah baca ulang tulisan saya sendiri di blog ini. It motivates me, at dreadful times, to recall that I had been so resilient once in the past when facing another terrible hardship.

Writing does me good. I think I'll continue writing and sharing some other pieces of my mind here.


Saya harap, post ini bisa jadi pengingat yang baik untuk saya di masa depan tentang bagaimana saya mengenali dan menyayangi diri sendiri. Semoga bisa jadi catatan yang bermanfaat juga untuk teman-teman lain yang membaca :)

Stay healthy, safe, and sane! Selamat Idul Fitri mohon maaf lahir batin.

No comments

© La Valse des Mots
Maira Gall