December 30, 2016

Reviewing 2016


Salah satu teman saya, Bianda, ngepost foto di akun Instagramnya (@biandarwr) kemarin malam. In the caption, she said that this year was like playing an awesome RPG. Despite numerous challenges and hardships she had to face along the way, the prize she got from each quest is what makes this year "the most valuable year ever". I must say I second the motion.

Tahun ini LUAR BIASA. Sampe saya tulis pake huruf kapital loh itu. Sure, this year got me beaten up like shit, but there were also abundant blessing in any form imaginable I'd never thought God would so generously give to me. Tahun ini juga merupakan tahun yang penuh tantangan. I was completely fired up like never before.


I started this year with an unforgettable Japanese trip. Saya nggak perlu lagi ceritain gimana seru, berkesan, dan menyenangkannya perjalanan tersebut karena saya udah pernah ulas di post sebelumnya (yang bahkan saya bikin sampe tiga bagian). Saya kangen banget sama Jepang. I'm missing Japan everyday. Beberapa hari yang lalu, saya sampe bisa-bisanya mimpi pergi ke Hokkaido lihat pelangi sama air terjun, terus ketemu tiga cowok Jepang ganteng. Emang enggak jelas. 


Kemudian.. magang di pertengahan tahun. Kegiatan magang ini sebenernya udah direncanakan, tapi sangat nggak terduga, soalnya saya magang.. di Jakarta. There's nothing special with doing internship in Jakarta, really. Masalahnya, seumur hidup, saya nggak pernah pengen (dan membayangkan) kerja di Jakarta. Saya pengennya kerja di Bandung. Saya nggak suka Jakarta yang macet, panas, dan nggak bersahabat. Ditambah lagi, kegiatan magangnya dilaksanakan pas bulan ramadhan. Mana mau saya sahur dan buka puasa sendirian di kosan?

Ujung-ujungnya dijabanin juga.

The internship itself was totally fun, but the rest of it was a living hell. Commuting during rush hour twice a day, spending twice as much cash as I normally do just for lunch, and the pain I had to endure when I got stuck in a heavy traffic terribly stressed me out. Ada hari-hari di mana saya keasyikan di tempat magang dan pengen lembur aja sekalian supaya nggak harus berdesakan pulang naik kereta, tapi kalau inget semakin larut sampe kosan equals semakin capek.. serba salah juga. Bawaannya jadi pengen terbang atau teleport aja.

Suatu hari, saya pernah nggak habis pikir karena habis keluar uang BANYAK BANGET dalam satu hari, demi Allah itu nggak masuk akal, terus curhat ke Ibu. Ibu lalu cerita ke Ayah. Kemudian Ayah ngetawain saya. "Itu cuma sebagian kecil dari banyak pengeluaran yang harus kamu keluarkan untuk hidup nanti, Kak."

Words.

Biar capeknya udah kayak apaan, justru living hell itulah tantangan dan pelajaran hidup yang membuat saya berkembang. I'm even proud with myself for finishing it strong. Nggak menyesal sama sekali merelakan tiga bulan liburan untuk magang yang melenceng jauh dari zona nyaman.


Bicara soal zona nyaman, magang di Jakarta bukanlah satu-satunya aksi heroik saya hengkang dari zona nyaman. Saya juga memutuskan untuk ambil bagian dalam sebuah kepanitiaan di kampus tahun ini. Wah, itu juga gokil. Kalau boleh cerita sedikit, kepanitiaan ini bisa dikatakan sebagai kepanitiaan terbesar di fakultas saya (yha kalau dibandingkan sama kepanitiaan fakultas-fakultas tetangga sih mungkin enggak ada apa-apanya). Pada dasarnya, tiga kepanitiaan besar digabung jadi satu. Persiapannya mencapai delapan bulan, melibatkan empat ratus lebih panitia, delapan ratus lebih peserta, dan dilaksanakan selama sebelas hari rangkaian acara. Terus saya ada di posisi yang cukup berpengaruh dalam kepanitiaan tersebut, yang saya nggak pernah sangka bisa beneran ada di sana, dan saya juga nggak bener-bener sadar how screwed I was sampe persiapannya udah jalan kayak lima bulan sesuatu (sebenernya saya sadar, tapi nggak yang sadar sadar sadar sadar banget gitu).

Waktu itu saya lagi bengong di kelas (atau di kosan ya, saya lupa..) mikirin ini-itu, terus ngeh, terus ngomong ke Virgi.

"Anjir ini kepanitiaan gede banget ya? Gue tuh se-influential itu ya?"

"...Lu kemana aja ege? Lu tuh mikir!!"

(Saya lupa dia pake ngomong "si goblok" dulu apa enggak, tapi yang pasti saya berakhir diceramahin Virgi)

Saya nggak bermaksud sama sekali untuk menekankan seberapa besar kepanitiaannya, atau seberapa berpengaruh saya di sana, karena dua-duanya biasa aja enggak ada apa-apanya sungguh, tapi saya mau ceritain aja bahwa momen itu membekas banget di ingatan saya. Abisan kocak.

Sejak Februari hingga Oktober kemarin, hidup saya banyak didedikasikan untuk ngurus kepanitiaan ini. Kemarin itu adalah pertama kalinya saya memprioritaskan kepanitiaan setara sama kuliah, bahkan kadang lebih tinggi. Saya sering janji atau niat mau nugas hari ini di jam segini untuk pada akhirnya malah ngurusin kepanitiaan di hari dan jam tersebut.

Pernah suatu hari, saya niat seharian rehat dan nugas di kosan, nggak taunya saya dapet telepon dari Madelyn, salah satu teman saya di kepanitiaan, sore-sore pas saya baru bangun tidur siang dan lagi enak-enak makan tahu bulat (sumpah itu nggak bisa dilupain banget saking kocaknya kalo dipikir-pikir).

"Yes Med?"

"Kak Kakak dimana? Ini futsal putri harus ganti sistem dari sistem pool jadi liga PJ-nya lagi nggak di kampus besok TM aku mau die." (Iya, Made ngomongnya nggak pake koma sama sekali, tengs Med)

"Oke aku ke kampus."

Rehat dan nugas seharian di kosan hanyalah hoax akhir zaman.

Ah, nggak akan ada habisnya kalo ngomongin soal kepanitiaan ini. Saya nggak mau banyak ngomong, soalnya takut jadi cerita dua kali (saya udah pernah bikin post apresiasi khusus untuk kepanitiaan ini pada bulan Oktober lalu). Tapi yang pasti, kepanitiaan ini berarti banget buat saya. Taking a part in it was my last opportunity to actually contribute to the faculty and all its people. I'm in my fourth year already, and I'm going to graduate soon after all. Kapan lagi bisa membuat perubahan dan meninggalkan legacy yang hopefully bisa bermanfaat untuk angkatan-angkatan berikutnya? Saya juga tertarik banget sama tantangan dan pengalaman yang bisa diperoleh. Lagi-lagi, saya bersyukur banget telah memutuskan untuk keluar dari zona nyaman dengan bergabung di kepanitiaan ini.


Satu lagi perihal keluar dari zona nyaman: mulai menyusun skripsi. Alhamdulillah saya udah mulai skripsian dari September kemarin. Kalau kesan tentang gimana proses kenalan dan meminang pembimbing skripsinya sendiri.. itu ajaib. Mulai menyusun skripsi dari semester lalu adalah sebuah hal yang jauh banget dari bayangan saya. Maksudnya, ketika itu saya belum bener-bener merencanakan dan belum 100% siap. Tapi ketika sosok pembimbing skripsi ini muncul dengan segudang tantangan yang ditawarkannya.. good gracious, I'm so in!

Layaknya testimoni dari dosen dan para senior terdahulu, saya dan teman-teman yang tergabung dalam tim riset beliau belajar banyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak banget dari beliau. Alhamdulillah kami juga berprogress dengan sangat produktif (pake nangis darah). Walaupun nangis darah jatuh bangun kaga tidur pake bengong seharian kayak orang bego, serunya onde mande mantap jiwa. Kalau kata salah satu dosen saya, "Gimana skripsian sama beliau? Ah, kamu mah pasti seneng. Kamu kan masokis."

Emang agak salah pemilihan katanya, tapi pada intinya saya justru semakin semangat ketika merasa penasaran dan tertantang. That's what he was trying to say. Please don't get the wrong idea.


Attending Distant Worlds concert was the cherry on top of my fantastic year. Enggak usah terlalu dibahas juga karena saya udah bikin post tersendiri yang khusus menceritakan konser ini. Tapi ngomong-ngomong soal Final Fantasy..... soundtrack Final Fantasy XV epic ya!! Lagu-lagunya tipikal Yoko Shimomura banget, bermandikan piano, choir, dan bahasa Latin. Ada rasa-rasa soundtrack Kingdom Hearts-nya juga. Saya lagi suka banget dengerin salah satu soundtrack yang judulnya Omnis Lacrima. Barusan saya habis nonton video Omnis Lacrima live di Abbey Road Studio, anjir itu keren mampus, terus jadi pengen banget denger Omnis Lacrima live di konser game berikutnya (masih ada Symphonic Fantasies atau Final Symphony, hohoho. BM-an ini terus berlanjut). Semoga di masa depan nanti bisa nonton!

Rilisnya Final Fantasy XV dan hadirnya Kingsglaive di bioskop juga menambah kebahagiaan saya tahun ini. Kalau rilisnya FFXV sih enggak usah ditanya, ya.. Saya udah ngikutin dan nungguin game yang satu itu dari kelas 2 SMP. Nggak kurang lama apa. Sayangnya saya belum pegang PS4, jadi belum bisa main juga. Rasanya pengen cepet-cepet kerja, punya uang sendiri, terus beli HDTV sama PS4-nya. Habis itu main sampe mabok.


Dari segudang pelajaran yang saya petik tahun ini, ada dua hal yang bagi saya jadi highlight. Pertama, soal betapa perlunya (ternyata) keluar dari zona nyaman kalau mau berkembang. Saya nggak pernah menyangka bahwa pada akhirnya akan bisa sebersyukur dan sesenang ini, bisa keluar dari zona nyaman dan mengerahkan kemampuan terbaik saya. I can hardly wait for my next pack of challenge.

Kedua, entah ini harus dijabarkannya seperti apa. Saya belajar untuk nggak terlalu perfeksionis dan idealis, apapun itu namanya, dan lebih belajar untuk menghargai diri sendiri. I believe I've told you several times before about how perfectionist I am, it reaches the point that sometimes it even tortures me. Hal ini kejadian ketika kepanitiaan kemarin. Namanya juga acara, pasti ada kekurangan dan kekecewaannya, baik bagi saya pribadi maupun bagi teman-teman panitia yang lain. Nggak ada hal yang bisa 100% sempurna. Kalau kata teman saya Maya, "Kok kayaknya kerja nggak ada mulus-mulusnya sama sekali." Apparently, I couldn't forgive myself for letting my friends suffered those dissapointment and imperfections. I could have saved them somehow.

Hal tersebut nggak saya sadari hingga kira-kira dua minggu setelah kepanitiannya beres. Dibuat ngeh sama dosen yang psikolog klinis. My lecturer said I'd been carrying some kind of anger within myself ever since the end of the event, that I unconsciously channeled out through my interaction with people, and as if a big "keep off" warning was plastered on my forehead. Waktu disarankan untuk ngeluarin uneg-uneg saya ke orang lain, saya menolak karena saya lebih milih time out dengan tidur atau meluangkan waktu sendiri. Balasan tegas beliau setelah terlebih dahulu berusaha membesarkan hati saya adalah "Fine. Tapi kalau sampe seminggu lagi saya lihat kamu masih kayak begini, kamu menghadap saya."

Dipikir-pikir, emang untung ya kuliah di psikologi. Kuliah sambil berobat jalan, bisa nyolong konseling pula.

Anyway, ketika menyadari bahwa masalah kemarahan ini ternyata seserius itu, saya jadi dibuat merenung dan berusaha nyembuhin diri sendiri. It surprisingly works. Saya sadar bahwa nggak semua kesalahan harus saya bebankan ke diri sendiri. Saya juga jadi sadar bahwa saya terlalu fokus sama imperfections-nya. Saya nggak banyak memerhatikan hal-hal positif yang udah berhasil dicapai bareng-bareng, yang kalau dipikir-pikir, sebenernya banyak juga, dan membanggakan banget. Not to forget how I handled my own issues during the process. Kalau inget momen-momen seru bareng satu kepanitiaan juga rasanya menyenangkan. Harusnya saya nggak hanya mengapresiasi orang lain, tapi juga mengapresiasi diri sendiri. Pengalaman tersebut luar biasa membuka mata soal bagaimana saya menyikapi dunia. Akan jadi se-stress apa saya begitu terjun ke dunia nyata nanti kalau masih seidealis dan seperfeksionis ini?

Saya nggak akan bisa jadi nggak perfeksionis. Keperfeksionisan saya macam absolut, genetik dari ayah dan ibu. Tapi seenggaknya kadarnya bisa dikurangi supaya nggak nyiksa-nyiksa amat. Kalau kata Ayah sih "Jangan perfeksionis-perfeksionis amat, nanti nggak gemuk-gemuk." (Dulu ayah saya ternyata super duper perfeksionis, terus semenjak kadarnya dikurangi, beliau yang tadinya kurus parah sekarang bisa gemuk sampe perutnya buncit, yha, terus beliau begitu senang dan bangga)


Another lesson is about grief. Pada Februari lalu, saya kehilangan nenek saya. Dua-duanya. Hanya dalam selisih waktu dua minggu. Satu bulan itu kerjaan saya bolak-balik ke rumah sakit, yang begitu sampe ruang rawat inap nggak tau harus ngapain. Nggak bisa berkata apa-apa sama sekali (in the most frightening way, karena bahkan pas disuruh berdoa, saya nggak bisa ngomong apa-apa dalam hati) ketika dihadapkan pada Eyang dan Amih yang terbaring di atas kasur, udah nggak bisa diajak interaksi.

Eyang Putri saya kala itu, pada dasarnya, bener-bener hidup dengan disokong mesin. Waktu detik-detik terakhir Eyang hidup, ayah saya standby di rumah sakit, tapi beliau sampe nggak berani masuk ruangan karena udah nggak tega lihat kondisi Eyang. Waktu Amih meninggal juga sama sedihnya. Saya inget saya lagi packing buat pemakaman di Cirebon, terus adik sepupu saya yang baru pulang sekolah (dan tekaget-kaget ngelihat rumah rame karena belum dikabarin sama tante saya sebelumnya, kasian juga kalo dipikir-pikir) ngechat saya. "Kak Anna, Amih meninggal.."

Saya cuma tersenyum miris, karena saya beneran baru balik dari rumah sakit, bahkan bantuin ua dan tante saya mandiin Amih. I know, Kania. I know.

Saya banyak mengamati gimana orang-orang di sekitar saya berduka. Ngebandingin apa yang saya lihat di lapangan sama lima tahap berdukanya Kubler-Ross. I also learned that loving and being loved are really different. Sedih karena kehilangan kesempatan untuk menyayangi orang lain dan sedih karena kehilangan kesempatan untuk disayang orang lain itu beda. Pake banget. Keduanya nyaru, tapi kalau udah kelihatan implikasinya, bisa terlihat bahwa keduanya beda. Sebeda itu. Bagi saya pribadi, hal tersebut duly noted.


Kalau ngomongin soal kehilangan, jadi nyambung sama Kimi no Na wa. Ha ha ha! Film yang satu ini wajib banget saya bahas, karena jadi salah satu highlight saya tahun ini. Saya nonton Kimi no Na wa sehabis kompre RPI (filmnya saya download dua jam sebelum masuk ruangan, diem-diem sambil latihan kompre sama teman-teman lain hehehe maafkan aku ya geng mau kompre masih kepikiran nonton film). Saya nonton malem-malem sebelum tidur. Begitu filmnya beres.. diem.

Diem yang lama banget.

Saya nggak bisa berhenti nonton endingnya berulang kali selama sebulan kedepan. Soalnya berkesan banget. Bikin baper. Baper dalam artian jadi dibuat mikir (spoiler alert): what does it feel like to wake up every morning with all those emptiness and confusion of knowing that you seem to be in search of something (or someone), yet you have absolutely no idea what (or whom) you're searching for, for years? Kata Acha, bapernya saya keberatan.

But seriously, I'm asking the real question here. Apa ya rasanya?


Kemudian lanjut lagi. Kalau ngomongin kompre RPI, rasanya aneh banget setelah kompre UAS beres. Kompre RPI kemarin memang jadi kompre terakhir pas UAS. Habis itu kayak udah nggak ada apa-apa lagi. Kuliah udah beres, ujian udah beres, kepanitiaan udah punya angkatan bawah semua. Semester depan beneran tinggal skripsian. Paling ditambah makrab, ngurusin Last Performance, sama ngerusuh di Psygames. Saya secara resmi jadi non-class.

Waktu itu rasanya aneh banget. Dibilang seneng karena semuanya udah beres juga enggak. Rasanya malah kayak sedih sendiri dan nggak mau ninggalin kampus. Setelah saya pikir-pikir, kayaknya ini semacam sindrom mahasiswa semester akhir: sebentar lagi mau lulus, tapi belum siap merelakan status mahasiswanya. Gimana dong, ya?

But life must go on! New year is around the corner!


Saya menghabiskan akhir tahun ini dengan maskeran sambil main PSP dan random baca Hana Yori Dango (nggak ngerti kerasukan apaan, tau-tau pengen baca Hana Yori Dango). Saya juga puas-puasin nonton TV sambil sesekali berkontemplasi, kemudian menyadari betapa gantengnya Chris Pratt di Jurassic World, and how cheesy the Ragnarok scene (the one with Eyes on Me played as the background music) in Final Fantasy VIII is.

Awal tahun 2016 lalu, saya nulis sebuah permohonan di ema waktu berkunjung ke Fushimi Inari-taisha. I wished for a blissful, prosperous year ahead. Alhamdulillah, ternyata beneran terkabul :)

So let's wish for another and even more blissful, prosperous year ahead! 24k magic is in the air after all!

No comments

© La Valse des Mots
Maira Gall