May 30, 2013

Between a Rock and a Hard Place

So.. Where should I begin?

By the way, this isn't a book or movie review.

Alhamdulillah semuanya berujung baik buat saya. Bulan kemaren rupanya berkah ilahi banget. Saya nggak tau harus ngomong kaya apa lagi karena saya bener-bener speechless. Saya nggak pernah menduga bisa dapet karunia sebegini luar biasanya, sampe-sampe saya pikir ngucapin hamdalah dan sujud syukur itu nggak ada apa-apanya buat ngucapin seberapa berterima kasihnya saya sama Allah. Maybe it sounds wrong but I really think that way. Sorry.

Saya masih inget gimana nenek saya langsung sujud syukur sambil nangis dan gimana Ibu, sambil meluk saya yang sesegukan, ngelus-ngelus punggung saya sembari bilang "Allah sangat sayang sama keluarga ini. Mama dan Papa, Eyang, Amih, om tante semua sangat bangga sama kakak".

Yea, saya paham betul kalo Allah sangat sayang sama saya. Kelewat sayang malah, sampe-sampe saya dikasih ujian yang sebegini beratnya. It turns out that another crucial time has come again for me to make another huge decision. Saya sempet mikir ini cuma efek akhir Mei doang--yang notabene memberikan sinyal kalo bentar lagi bulan Juni--dan jujur, saya benci bulan Juni. Bad things annually happen to me in June.

But it's already June though. So June, surprise me!


I really didn't expect this. I had no idea that everything would end this way. It's just like.. I've been longing for this my whole life, and it's now finally within my grasp and I can't even make a decision.

So here I am, completely bewildered and vague, busy keeping myself collected by sleeping and reading Yotsuba& online, sometimes rewatching several episodes of Running Man as well. Ketemu temen-temen juga serba salah rasanya, karena perasaan saya sendiri masih sangat campur aduk, dan perasaan mereka juga demikian. Omongan mau kaya apa juga masuk kuping kiri keluar kuping kanan, nggak didenger, nggak ada gunanya. Semua jadi bullshit. Yang bener bullshit, yang ngaco lebih bullshit lagi. Saya cuma bisa diem mencerna keadaan, ngamatin ekspresi dan sikap orang-orang, ngejawab pertanyaan seperlunya, dan berbagi ke orang-orang yang udah tau busuk-busuknya saya aja.

Selama beberapa hari yang notabene cukup lama, saya diajukan pertanyaan yang sama tiap ketemu orang-orang (bahkan nggak ketemu aja ditanya, sumpah. jaman kaya gini cara komunikasi antar manusia itu udah makin gila aja). Saya cuma bisa ngasih ketidakpastian yang tampaknya bikin semua gereget. Soalnya pas semua temen-temen yang bahkan saya nggak tau mereka tau dari mana dan pas semua anggota keluarga besar sampe turun tangan, itu bener-bener lucu dan menyadarkan saya kalo ini beneran hal serius dan saya bahkan nggak bisa ngapa-ngapain.

Nggak sedikit masukan dari temen-temen dan keluarga yang nonjok dan menggelitik. Mulai dari yang standar kaya "Ikutin kata hati aja", yang gentle kaya sarannya Anggara dan Sapi "Maneh cewek, na. Nanti maneh disana gimana nggak ada keluarga?! Hidup maneh gimana?!", yang inspiratif dan disampaikan secara kocak sama Om Gia "Eyang dulu ingin Om masuk sana, tapi Om malah masuk kampus yang nggak jelas itu kampus apaan", sampe yang sangat tegas dan sangat lugas kaya sarannya salah satu sahabat yang saya kenal lewat dunia maya, Mami.

"Kamu ngebullshit nanti di dunia nyata. You give horseshit a gold dressing and say it's hors d'oeuvre. Ini nggak tau kelewat skeptis atau gimana, ya. Sementara yang satu lagi, kamu urusannya sama orang-orang yang mungkin nggak cocok sama kamu. Kamu musti kuat karena kadang-kadang apa yang kamu denger itu bisa mempengaruhi kamu. Humans are ugly. Dan ketika kamu belajar tentang human nature, kadang-kadang kamu mulai paranoid tentang orang-orang di sekitar kamu. Kamu lebih bisa terima yang mana?"

Itu adalah kesimpulan yang sangat keren.


Saya cuma bisa mempertimbangkan dan mempertimbangkan dan mempertimbangkan, diselingi pertanyaan harian yang sama, namun diajukan oleh orang-orang berbeda. "Jadi, kamu pilih yang mana?"

Awalnya saya emang bener-bener bingung. Sumpah deh. Kegalauan tersebut tampaknya sungguh tak berujung. Pas saya udah lumayan yakin di pilihan yang satu, saya masih nggak rela ngelepas yang satunya lagi. And vice versa. Lama-lama capek banget rasanya. Saya dihadapkan pada dua pilihan, masing-masing dua jurusan berbeda di dua universitas berbeda di dua kota dan dua provinsi berbeda pula, yang sebenernya mau pilih yang mana aja juga suatu kebanggaan besar buat saya dan keluarga. Sama sekali bukan perkara yang mudah muat milih. Apalagi kalo mengingat masing-masing jurusan itu bakal mengantarkan saya ke masa depan berbeda, belum lagi sederet pertimbangan menyebalkan lainnya.

Tapi alhamdulillah, doa saya supaya diberi petunjuk terkabul juga. Kalo dipikir-pikir, itu bener-bener magical moment banget. Padahal awalnya cuma browsing biasa doang. Disana saya nemu info krusial yang mengingatkan akan alasan utama kenapa saya nggak milih jurusan berbau politik itu pas jalur undangan kemaren. Terus saya konfirmasi soal info itu ke Ayah sama Ibu. Begitu denger jawabannya ditambah mikir-mikir lagi sedikit, itu beneran lega, beneran nggak ragu lagi, dan setelah shalat buat meyakinkan diri sekali lagi, saya bisa langsung ambil keputusan.

Dengan berbagai pertimbangan dan dengan segala kerendahan hati, saya memilih Depok :)

Dan setelah ngutarain keputusan besar itu, saya ngerasain yang namanya pure happiness setelah seminggu lebih dihantui perasaan yang nggak jelas. Asli nggak jelas. Jadi, sungguh, alhamdulillah..

Sejauh ini saya nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Doakan segalanya lancar ya! Moga-moga sepulang verifikasi nanti, saya udah dinyatakan resmi jadi mahasiswi sana! :)

No comments

© La Valse des Mots
Maira Gall