February 5, 2016

Experiencing Japan: Part 1

Halo semuanya!

Nggak terasa liburan awal tahun ini udah mau selesai lagi. Dibanding liburan tengah tahun kemaren, entah kenapa liburan saya kali ini kurang produktif. Saya males ngapa-ngapain, nggak ada minat sama sekali buat pergi keluar sekedar untuk jalan-jalan atau ketemu temen.. Padahal di rumah juga kesel karena super bosen. Nonton TV males, baca buku males, nulis males, lari pagi males.. Saya juga nggak ngerti saya kenapa.

Tapiiii liburan awal tahun ini nggak sepenuhnya membosankan! Atau nggak produktif. Karena minggu lalu, tepatnya tanggal 24-29 Januari 2016, alhamdulillah saya dan sister "Bayi Kadal" atau "Oscar Oasis" saya, Izzati, pergi ke Jepang dalam rangka melihat dunia sekaligus jalan-jalan nekad.

Bisa pergi ke Jepang adalah sebuah mimpi yang jadi kenyataan bagi saya pribadi. I've been wanting to go there my whole life. Sampe sekarang rasanya masih nggak percaya akhirnya bisa ke sana. Saya udah jatuh cinta sama Jepang semenjak masih bocah tengil. Saya suka budaya mereka--bahasa, komik, animasi (bahkan dulu saya pernah super freak sama hal ini, sekarang sih udah tobat ekekeke), lagu, game, pokoknya seeemuanya. Bisa pergi ke Jepang bener-bener sebuah blessing dan berarti banyak buat saya.

Nah, pada post kali ini, saya mau share tentang perjalanan saya dan Izzati selama lima hari penuh keliling Tokyo dan Kyoto. Banyak banget hal yang pengen saya ceritain (and yes, kalo temen-temen udah sering baca post saya yang dulu-dulu, "banyak banget hal yang pengen saya ceritain" means saya akan nyeritain semua hal mulai dari yang "penting banget" sampe yang "apa banget", dan berarti post ini akan jadi post yang super duper triple hyper panjang, bahkan bakal saya bagi jadi beberapa part). And this post may contain a lot of swearing (maafin anaknya emang suka ngomong kasar hehehe) jadi mohon disikapi dengan bijak ya. Saya harap tulisan ini bisa menyenangkan, menghibur, dan informatif untuk temen-temen yang baca!


Perjalanan saya dan Izzati ke Jepang telah melalui serangkaian proses pengambilan keputusan serta perencanaan yang berliku. Mulai dari gamang waktu nentuin tanggal beli tiket pulang-pergi, penyusuan itinerary yang ternyata sangat tai--harus nentuin nginep dimana, bakal kemana aja, naik apa, dan lainnya yang surprisingly baru bisa rampung setelah tiga hari ketemuan dari siang sampe malem, reservasi ini dan itu, ngurus visa, dan lainnya. Nyusun itinerary adalah bagian yang paling berkesan. Harus mencerna rute perkeretaan di Tokyo plus ngebaca tabel harga tiket dan jadwal keberangkatan shinkansen itu luar biasa sesuatu. Mata saya sampe harus jereng-jereng dulu sampe akhirnya bisa hatam.

Anyway, setelah semuanya siap, hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Hari Minggu, 24 Januari 2016 pagi, saya dan Izzati berangkat ke Jepang dari Jakarta dan transit dulu di Kuala Lumpur. Sampe Haneda jam 10 malam dan nginep di airport.

Ngomong-ngomong, di pesawat dari KL ke Jepang ada pramugara yang cakep banget subhanallah kayak Nicholas Saputra..... Lebih cakep malah. Adem banget liatnya. Ini sebenernya penting nggak penting tapi tetep saya ceritain aja sih. Lumayan intermezzo. Hehehe ngeles.


Day 1: Senin, 25 Januari 2016

Hari pertama! Setelah bermalam di airport dan saya mandi subuh-subuh di shower room yang super fancy (kayaknya itu mandi tereksklusif saya sepanjang hidup sejauh ini deh, dapet teh gratis pula), saya dan Izzati naik kereta paling pagi dari airport ke Asakusa buat pergi ke hostel. It was our first time purchasing ticket from the automatic machine! Beli tiket kereta di Jepang memang mandiri di mesin otomatis. Kewl banget deh pas saya masukin uang kertas, terus dengan cepatnya uang kembalian langsung keluar, baik yang bentuknya uang kertas lagi maupun koin. Saya sama Izzati langsung ber-wow ria dengan noraknya.

Sebenernya agak repot kalo tiap naik kereta harus beli tiket. Orang Jepang sendiri kebanyakan punya kartu komuter yang multitrip, jadi tinggal isi saldo dan di-tap di gerbang. Tapi jenis kartu multitrip di Jepang banyak banget karena railway company di Jepang nggak cuma satu. Saya udah keburu eneg sama perkeretaan dan udah nggak mau tau lagi soal apa itu Pasmo atau Suica atau kartu lainnya, so Izzati and I stick with purchasing tiket manually everytime we want to hop on the train.

Kereta komuter di Jepang sebenernya nggak jauh beda sama kereta komuter di Jakarta (he-eh da kereta komuter Jakarta teh bekas kereta komuter Jepang), tapi yang jelas semuanya lebih bersih, informatif, tertib, teratur, dan tepat waktu! Luar biasa memang, kereta sama bis di sini nggak ada yang terlambat semenit pun. Setelah sekitar setengah jam naik kereta dari Haneda, saya sama Izzati pun tiba di Asakusa. Waktu itu sekitar pukul 6 pagi. Langit masih gelap dan kota masih sepi.

Begitu keluar dari stasiun dan merasakan udara di luar.. kata pertama yang terlintas dalam benak saya (dan refleks saya utarakan) adalah
.
.
.
holy shit.

DINGIN PARAH. HAHAHAHA.

Kemaren adalah kali pertama saya ngerasain musim dingin, jadi saya kaget dan nggak nyangka bahwa ternyata akan sedingin itu. Setelah beberapa menit jalan, badan saya langsung menggigil, bibir langsung super kering, dan jari tangan berasa ditusuk-tusuk sampe akhirnya mati rasa. Karena tangan kanan saya harus pegang handphone yang notabene touchscreen, saya jadi nggak bisa pake dua sarung tangan, dan alhasil tangan saya mati rasa sebelah.

Seharian itu emang dingin banget buat saya sampe bego rasanya. Pagi-pagi suhunya 2-3 derajat, begitu siang naik jadi sekitar 6-7 derajat (meski sorenya sempet turun lagi jadi 2 derajat), dan semakin malam, suhunya semakin turun lagi. Hari itu anginnya juga bertiup dengan mantap, bikin saya ngerasa tambah bego. Tapi kebegoan dan kedinginan yang saya rasakan nggak sebanding dengan betapa saya menikmati suasana serta pemandangan yang saya lihat sepanjang jalan.

Ya Allah, saya di Jepang.

Saya menjejakkan kaki di tanah Jepang dan ngeliat lanskap Jepang pake mata kepala sendiri.

Cantiknya, subhanallah..

Perlu cukup banyak waktu bagi saya buat bener-bener ngeh bahwa saya beneran lagi di Jepang. Seminggu sebelum berangkat hingga hari itu, entah kenapa saya emang ngablu dan ngawang nggak jelas. Begitu akhirnya nggak ngawang lagi jadi pengen nangis rasanya. Waktu saya nyebrang jalan, ngeliat Kaminarimon di depan, Tokyo Skytree di kanan, dan matahari yang terbit di ufuk timur..

Wow.

Just wow.

Hostel tempat saya dan Izzati nginep berlokasi persis di belakang kompleks Senso-Ji dan Asakusa-Jin, kuil buddha dan shinto yang jadi salah dua main tourist attraction di Asakusa. Setiap kali pulang-pergi dari hostel buat jalan dari (atau ke) stasiun, saya harus ngelewatin dua kuil itu, dan pemandangannya cantik banget sumpah enggak bohong. Dari Kaminarimon sampe kuil utama Senso-Ji, ada Nakamise Street yang isinya jajaran toko makanan sama souvenir. Di sekitaran sana juga ada pasar, restoran, sama kafe-kafe kecil yang tenang. Totally my kind of neighborhood.


Oiya! Jalanan di Jepang juga kecil-kecil dan cantik-cantik! Semuanya beraspal dan landai dengan trotoar di kanan kiri. Orang-orang jalan, naik sepeda, dan naik transportasi umum kemana-mana. Sepeda di Jepang lucu, bisa dipasangin keranjang di depan atau belakangnya buat tempat duduk bayi dan balita! Saya sering banget liat ibu-ibu naik sepeda, terus anaknya duduk di keranjang belakang, dibungkus selimut atau semacam tudung kain berjendela plastik gitu. Lucu banget!

Oiya juga! Ada TK di deket Senso-Ji! Saya dan Izzati ngeliat orang-orang nganterin anaknya ke sekolah setiap pagi. DAN ANAKNYA LUCU-LUCU YA AMPUN. Mungil, teriak-teriak, dan lompat-lompat kesana-kemari. Mereka pake coat seragam warna abu-abu yang biasa saya liat di film atau komik. Saya emang nggak begitu suka atau akrab sama anak-anak, tapi anak-anak di TK itu beneran lucu. Sayang banget sekolah dan anak-anaknya nggak boleh difoto..


Kembali ke perhostelan, saya dan Izzati beli sarapan dulu di konbini alias convenience store sebelum masuk hostel (yang bahkan meja resepsionisnya masih tutup). Karena nggak enak buat mencet bel dan bangunin staff hostelnya, saya sempet ngusulin buat sarapan di taman Senso-Ji aja, tapi itu emang sok ide banget sih, karena gilak kalo harus duduk diem berlama-lama di luar kayaknya saya sama Izzati bakal bertransformasi jadi es batu. Akhirnya Izzati dengan heroik memencet bel dan kami berhasil masuk ke dalam hostel, sarapan di ruang tunggu. Pemanas ruangannya belum nyala jadi tetep aja dingin, tapi seenggaknya nggak bego-bego amat kayak di luar.

Saya sarapan onigiri sama susu (yang ternyata adalah yoghurt stroberi). Izzati juga bernasib sama, pengennya minum susu tapi ternyata malah beli yoghurt. Konbini adalah sahabat saya dan Izzati selama di Jepang. Lawson mamen Family Mart mabruh 7Eleven brader deh pokoknya. Makanan siap saji yang dijualnya enak-enak, susu di sana juga murah-murah (bahkan lebih murah dari air putih!), dan segala macem kayaknya dijual lengkap. Dan konbini ini pabalatak alias bertebaran dimana-mana. Macam Alfamart atau Indomaret aja di sini--walaupun nggak separah Alfamart sama Indomaret yang posisinya bisa sebelahan atau seberang-seberangan banget, sih. Pokoknya bila meragu mau beli sesuatu, cari dan masuklah ke konbini ya saudara-saudara.


Setelah sarapan dan nitip koper di hostel, saya dan Izzati langsung caw buat menjelajah kota. Pertama-tama, kami pergi ke Senso-Ji dan Asakusa-Jin yang jelas-jelas tinggal ngesot. Senso-Ji itu kuil buddha, sementara Asakusa-Jin itu kuil shinto. Selain dari kanji yang digunakan buat nulisnya (kuil buddha ditulis pake kanji yang dibaca "ji" atau "tera" yang artinya "kuil", sementara kuil shinto ditulis pake kanji yang dibaca "shin" atau "jin" yang berarti "Tuhan" dan "sha" atau "ja" yang artinya semacam "tempat" atau "kantor" gitu kalau digabung sama kanji lainnya), dari pengamatan saya mampir ke kuil-kuil, perbedaan antara kedua jenis kuil ini adalah; di kuil shinto selalu ada torii (gerbang tradisional Jepang) dan ema (plakat kayu yang bisa ditulisin harapan atau keinginan, yang nantinya bisa digantung). Sebelum masuk ke kuil shinto, orang yang mau berdoa (dengan ngelempar koin ke boks) juga harus cuci tangan, muka, dan kumur-kumur dulu, jadi di depan kuil selalu ada bak air sama gayung-gayung kayu kecil buat keperluan basuh-basuh ini.

Senso-Ji dan Asakusa-Jin, terutama Senso-Ji, cantik banget! Bangunan Senso-Ji besar dan kelihatannya kokoh, didominasi warna merah. Di sekitar sana juga ada pagoda dan taman yang lumayan luas. Kalau kita jalan keluar dan lurus terus dari gerbang dalam Senso-Ji, kita bakal ngelewatin Nakamise Street dan akhirnya sampai di Kaminarimon (literally means "Thunder Gate"), gerbang masuk Senso-Ji lainnya yang ada di depan, persis di samping jalanan dan persimpangan Asakusa. Dua gerbang ini sama-sama punya lampion yang besar banget.

Saya dan Izzati sadar bahwa kami akan mabok banget sama Senso-Ji dan Asakusa-Jin karena akan selalu lewat sini tiap hari selama di Tokyo, jadi setelah puas ngeliat dan foto-foto, kami pun lanjut jalan-jalan ke tempat lainnya.


Berikutnya kami pergi keeeeee Shinjuku! Dari Asakusa, saya dan Izzati naik kereta dua kali--pertama-tama, kami naik Tokyo Metro (subway) dulu ke Shibuya, kemudian lanjut ganti JR (kereta komuternya Japanese Railway, railway company terbesar di Jepang) ke Shinjuku. Shinjuku ternyata bener-bener hutan beton. Saya sendiri nggak begitu tau banyak soal Shinjuku, tapi setelah mengamati dan menyusuri jalanannya, Shinjuku ini bisa dibilang area belanja sekaligus perkantoran yang sibuk. Gedung perkantoran disini beneran banyak banget. Dan tujuan saya kesini emang mau ke salah satu gedung perkantorannya sih. Hehehe.

Saya mau ke headquarter-nya Square Enix!

Bagi temen-temen yang main game atau setidaknya pernah denger soal franchise Final Fantasy, Kingdom Hearts, Mana, Parasite Eve, atau game lainnya macam Front Mission, Dragon Quest, Deus Ex, dan masih banyak lagi, semua game franchise tersebut dikembangkan sama Square Enix! Square Enix adalah salah satu notable game developer dari Jepang. Sebagai seorang fans yang cukup banyak main game-game nya Square Enix, saya merasa wajib banget buat ngeliat langsung dimana tempat semua mainan saya itu berasal mula.

Dari stasiun sentral JR di Shinjuku, saya dan Izzati jalan kaki kurang lebih 15 menit dengan mengandalkan GPS handphone. Kayaknya kami bahkan sempet ngelewatin daerah hiburan malem gitu deh. Yang harem-harem gimana gitu. Ini GPS emang gokil milih rutenya. Karena waktu itu masih siang, area ini masih sepi.

Akhirnya sampe juga di Shinjuku Eastside Square Tower! Saya dan Izzati sempet masuk ke gedungnya buat numpang ke toilet hohoho somehow it feels ridiculously cool. Habis itu, kami masuk ke ARTNIA, toko souvenirnya Square Enix. Ada macem-macem merchandise, mulai dari boneka, pendant (maigat ada pendant Fenrir-nya FFVII sama Kingdom Hearts dong, pengen nangis karena rata-rata sold out semua), kipas, gantungan kunci, mug, dan entah apa lagi, banyak banget. Ada juga kafe kecil di dalam gedung ARTNIA-nya. Bisa ada di situ rasanya.. wow banget.

Ngomong-ngomong, Izzati nggak ngeh sama sekali Square Enix itu apa, jadi doi kesini itu jatohnya digeret sama saya HAHAHA ZAT MAKASI BANYAK YA LUV XOXO. Selama jalan menuju dan selama liat-liat gedungnya, Izzati sempet nanya-nanya dan saya juga jelasin perihal Square Enix-nya, supaya Izzati nggak clueless-clueless amat. Dirimu datang ke tempat yang keren kok, Zat. Sungguh.

Pulang dari per-Square-Enix-an, saya sama Izzati jalan lagi buat balik ke stasiun. Terus saya dan Izzati nemu sebuah jalan yang cantik banget! Jalannya kecil, beneran diapit gedung-gedung tinggi di kanan-kiri, tapi banyak pohon, ada jembatannya, ada lampu-lampu tamannya.. Berasa oase di tengah padang pasir. Jalanan di Jepang emang top.

A beautiful path we found in the middle of Shinjuku

Keluar-keluar entah ada dimana. Lel. Tapi masih di Shinjuku, jadi selau.

Selama jalan dari satu tempat ke tempat lain di Jepang, saya dan Izzati sangat mengandalkan GPS. Tapi kami berdua anaknya emang suka ngawur dan eksplor sana-sini, jadi kadang suka nggak nurut sama rute GPS dan berakhir lebih dekat atau malah lebih jauh dari tempat tujuan. But I always trust my spatial ability (yang sebenernya pas-pasan), dan saya adalah orang yang kalo jalan prinsipnya "da moal kamamana" (ya nggak akan kemana-mana juga), jadi kalo nyasar yaa.. bakalan masih disitu-situ aja. Tinggal liat GPS lagi atau nanya jalan ke orang. Alhamdulillah sampe detik ini saya masih hidup sehat walafiat biar pendekatannya somplak begitu.

Dannn waktu jalan balik ke Stasiun Shinjuku! Saya sama Izzati ngelewatin satu perempatan. Begitu sampe sana, kami mau nyebrang, tapi lampunya masih merah, jadi nunggu dulu bareng pejalan kaki lainnya. Waktu itu saya nggak sadar apa-apa sampe akhirnya Izzati nanya.

"Na, orang-orang pada fotoin apa, sih?"

Saya langsung ngeliat sekeliling. Pejalan kaki di sekitar saya, yang sama-sama nunggu mau nyebrang, pada ngeliat ke atas dan sibuk foto-foto pake kamera. Begitu saya memalingkan wajah ke arah yang dimaksud..

Ada gedung besar yang isinya toko Louis Vuitton.

Terus ada iklan besar di gedungnya.

Terus di iklan itu, ada Lightning bergaya bak model, pake produknya Louis Vuitton.

Lightning. Lightning-nya Final Fantasy XIII.

Saya ngakak di tempat.


Jir itu kocak. Saya juga langsung angkat handphone dan fotoin iklannya. Iklan fashion di Jepang udah pake model karakter game aja! Saya lalu nyebrang jalan sambil masih ketawa-ketawa dan bertanya dalam hati ke Lightning, "Sis, sejak kapan situ mainannya Louis Vuitton?". Gokil.

Square Enix x Louis Vuitton

Oiya! Lampu lalu lintas di Jepang itu lucu deh. Kalau lampu buat penyebrang jalannya udah hijau, bakal ada suara kayak "pew pew pew" gitu (nggak seru karena nggak ada nadanya, tapi semacam suara orang nembakin laser hehehe). Izzati berasumsi mungkin suaranya ditujukan buat penyandang disabilitas yang nggak bisa ngeliat. Saya sama Izzati suka ketawa-ketawa kalo lampu penyebrangannya udah nyala. Kalo lagi nunggu nyebrang, kami juga suka ber-pewpewpew ria untuk mengantisipasi bunyi pewpewpew yang sebenarnya.

Akhirnya setelah perjalanan yang cukup panjang dan dingin (kami sempat mampir dulu di satu pusat perbelanjaan buat numpang shalat di prayer room-nya hohoho praise Google and the power of browsing) plus disertai kebodohan dengan nanyain Stasiun Shinjuku dimana ke polisi, nggak taunya stasiun yang dicari berada persis 200 meter di ujung jalan kalo saya dan Izzati balik badan, kami kembali naik JR dan tiba di Shibuya.


Baidewei di kereta dari Shinjuku ke Shibuya ada gerombolan anak SMA. Cowok. Pake gakuran. Ada satu cowok yang cakep banget sumpah demi Allah................. Saya bener-bener bengong ngeliatin dia terus, bahkan sampe eye contact dan berakhir buang muka karena malu.

ADUH CAKEP BANGET GIMANA DONG??? Sampe sekarang masih kebayang-bayang??

Saya bukan tipe orang yang suka ngeceng, tapi saya banyak ngeceng di Jepang. Soalnya orang Jepang cakep-cakep dan kalem-kalem.. Saya suka banget. Soal ini mungkin bakal saya bahas di bagian selanjutnya. But anyway, selama di Jepang, saya dan Izzati juga selalu papasan sama anak-anak sekolah setiap hari, mulai dari pelajar TK, SD, SMP, hingga SMA. Mulai dari yang pake sailor seifuku, gakuran, hingga yang pake seragam jenis vest dan blazer. Kami bahkan nemuin pelajar yang pake tas kulit warna hitam atau coklat tua kayak yang ada di komik-komik (saya dan Izzati menyebut tas tersebut sebagai "tasnya Otohata Rei yang dijambret sama Ran, terus dijual seharga 50.000 yen"). Hehehe. Buat temen-temen yang nggak ngeh, boleh banget baca komik GALS!-nya Mihona Fujii sebagai referensi.

Lalu yang saya dan Izzati nggak ngerti: pelajar di Jepang itu masuk sekolah jam berapa, ya? Pagi jam 8 masih banyak yang naik kereta, tapi jam 1 atau 2 siang udah banyak lagi yang berhamburan di jalan. Ini anak sekolah emang belajarnya sebentar, pada bolos, atau gimana?


Kembali lagi ke Shibuya.

Shibuya.

Shibuya, bagi saya dan Izzati, punya makna yang dalam. Kami udah kenal sama city ward yang satu ini semenjak masih kecil, dari hasil baca komik GALS!-nya Mihona Fujii, dan kami pengen banget ke tempat ini dari dulu. Pengen liat pake mata kepala sendiri tongkrongan yang dibangga-banggakan sama karakter komiknya kayak apa. Tower Records yang suka dikunjungi sama Otohata Rei, QFront yang kata Kotobuki Ran tempat paling keren, 109 Shibuya yang di masa depan mungkin bakal jadi tempat kerjanya Honda Mami yang mau jadi pramuniaga toko.. dan patung Hachiko yang hampir selalu jadi meeting point mereka! Dan alhamdulillah, kami kesampean buat mengunjungi semuanya.

Kalo bokek, meluk patung Hachiko?

Waktu tiba di Shibuya hari itu, kalo nggak salah udah siang menuju sore, sekitar jam 2 atau jam 3. Kami langsung disambut sama patung Hachiko dan Shibuya Crossing begitu keluar dari stasiun. The actual Hachiko statue and the famous Shibuya Crossing. Saya dan Izzati sengaja bawa komik GALS! dari rumah buat ngebandingin gambar di komik sama penampakan aslinya. Beneran liat QFront sama 109 Shibuya juga! Terus saya dan Izzati langsung jalan-jalan bodo amat nggak tau ke arah mana pokoknya jalan-jalan muterin daerah sana. Semuanya adalah toko baju, sepatu, dan aksesoris, mulai dari yang lokal sampe yang branded macam Bershka, Forever 21, atau department store kayak Seibu dan Tokyu. Selain gerai fashion, banyak juga kedai makan dan jajanan, plus beberapa pusat arcade di sepanjang jalan. Pengen beli semua barang dan makanan rasanya.

Saya dan Izzati memilih buat makan di sebuah restoran self-service kecil. Begitu masuk toko, kami pesan makanan masing-masing di mesin otomatis. Pilih menu, terus masukin uang, dapet kupon, dan dikasihin ke pekerja restorannya. Terus pesanannya dianter ke meja. Kebetulan waktu itu restorannya bergaya bar, jadi kami duduk berjejer menghadap dapur. Pengalaman makan pertama di Jepangnya yang seruuuu! Saya sendiri makan beef curry sama miso soup. Enak dan kenyang. Rasa karenya tajem banget. Habis makan, orang-orang disana pada bilang "gochisousama deshita" ("terima kasih untuk makanannya") sebelum keluar dari restoran. Nyo.

Kami juga beli taiyaki! Kue ikan isi kacang merah. Ya Allah, akhirnya kesampean juga makan taiyaki. Taiyaki adalah salah satu jajanan yang masuk list "harus makan di Jepang" versi saya (selain dango), karena jajanan tersebut nggak dijual di Indonesia, jadi cuma bisa saya dapatkan di Jepang.. Harganya cuma 150 yen. Sumpah itu murah banget. DAN SUPER ENAK. Demi Allah enak banget. Dari semua jajanan yang saya cicipi selama lima hari di Jepang, taiyaki yang saya beli di sudut Shibuya sore itu adalah yang paling enak dan paling berkesan.

Karena hari itu kami capek banget, belum bener-bener istirahat semenjak landing semalam, saya dan Izzati pun balik ke Asakusa sekitar jam 6 atau 7 malam. Sampe di Asakusa, kami jalan-jalan lagi ke Senso-Ji, Nakamise Street, pasar, dan jalanan kecil di sekitar sana. Setelah check in di hostel (waktu check in penginapan di Jepang memang sore, biasanya baru mulai pukul 3), kami pergi keluar lagi buat cari takoyaki. Staff hostelnya ngasih rekomendasi kedai takoyaki. "Gindako" namanya. Kayaknya kedai itu ada dimana-mana deh, karena keesokan harinya saya nemu kedai dengan nama yang sama di Harajuku. Kami pun caw ke kedai yang dimaksud. Eh, begitu sampe sana, semua takoyaki di menunya pake pork.. Lel banget. Kami lalu nanya apakah ada kedai takoyaki lain di sekitar sana, dan kami direkomendasikan kedai lainnya. Saya dan Izzati kemudian makan malem takoyaki--duduk di pinggir jalan sambil liat Tokyo Skytree di kejauhan.


Ngomong-ngomong, alasan lainnya saya seneng banget pergi ke Jepang adalah karena kesempatan ini bisa jadi wadah saya buat actually use my language skill! Ini adalah kali pertama saya bener-bener pake bahasa Jepang dalam konteks percakapan sehari-hari. And trust me, it's your ultimate survival kit. Kemampuan berbahasa Inggrisnya orang Jepang, harus saya akui, memang kurang baik. Nggak semuanya bisa ngerti dan bicara bahasa Inggris. Petugas stasiun, department store, atau polisi aja belum tentu semuanya bisa. Hanya segelintir orang Jepang yang beneran jago bahasa Inggris atau (kalo yang nggak jago) bener-bener "berusaha membantu" kami dengan bela-belain buka Google Translate saat mereka kepepet dan bingung harus jawab apa. Kemampuan berbahasa Jepang saya, diluar dugaan, luar biasa berguna di sini. Kalo Izzati udah nanya "can you speak english?" dan orang Jepang yang ditanya nggak ngerti atau langsung geleng-geleng kepala dengan panik, saya segera switch ke bahasa Jepang and do the talking (tentunya, dengan kemampuan dan kefasihan yang berada di garis pas-pasan).

Dari pengalaman ngomong kemaren, kalimat esensial yang sering banget saya gunakan adalah ketika saya nanya "apakah ada (sesuatu) di sini" ("... ga arimasuka?"), mulai dari nanya toilet, nanya apakah ada barang tertentu di toko atau convenience store, dan lainnya. Macam "furikake ga arimasuka?" (disini jual furikake atau enggak), "hoka no iro ga arimasuka?" (barang ini ada warna lainnya atau enggak), dan sebagainya. Terus kalo mau pergi-pergi dan nanya jalan, misalnya nanya harus naik kereta atau bis apa. Atau ketika nanya pas mau masuk tempat makan! Menu yang disajikannya pake daging apa, ada pork-nya atau nggak, dan semacamnya. Mantap nian.

Ketika orang Jepangnya jawab.. itu udah bismillah aja. Ada penjelasan yang saya ngerti, ada juga yang enggak. Mereka ngomongnya kadang cepet banget.. Cukup sering saya nggak nangkep perkataan mereka, jadi saya juga banyak mengandalkan common sense dan nonverbal language yang bisa diliat.

Saya sendiri nggak begitu peduli grammar saya bener apa nggak. Pokoknya ngomong dulu aja, keluarin keywords yang bisa mereka cerna. Nggak jarang saya langsung nyadar bahwa struktur kalimat atau pemilihan kata saya salah banget setelah ngomong, tapi alhamdulillah orang Jepangnya ngerti, jadi yaudah lah ya. Hohoho. The melancholy of me and my broken Japanese.



Yak, hari pertama pun selesai! Uluh, cerita hari pertama aja panjang banget ya? Cerita hari kedua dan selanjutnya bakal saya ulas di post berikutnya.

Balik-balik ke hostel, kondisi saya dan Izzati adalah kedinginan, ngantuk, dan masih laper entah kenapa. Jari-jari tangan masih mati rasa--jari saya bahkan sampe berdarah--dan kaki sakitnya masya Allah.. Pegel banget. Jari kaki saya nggak bisa ditekuk. Mungkin karena seharian ini ketarik sama long john dan kaos kaki. Kesiksa banget rasanya nggak bisa meletekin jari kaki ketika pegel.. Tapi saya pribadi (dan saya yakin Izzati juga) ngerasa seneng, karena all the view was worth all the long walk. Kami nggak akan pernah bosan dan kecewa sama indahnya jalanan di Jepang.

---

Want to jump?
Experiencing Japan: Part 2
Experiencing Japan: Part 3

No comments

© La Valse des Mots
Maira Gall