February 5, 2016

Experiencing Japan: Part 3

Day 4: Kamis, 28 Januari 2016

Hari keempat! Diawali dengan sarapan di hostel yang mengenyangkan dan dobel enaknya (karena gratis), saya dan Izzati pergi naik bis ke destinasi pertama kami hari ini, yaitu Kinkaku-Ji atau Golden Temple. Saya dan Izzati makan dango di Kinkaku-Ji! Akhirnya kesampean juga bm saya makan dango! Salah satu hal yang bikin Kyoto mantap adalah kedai jajanan tradisional di kota ini, terlebih di sekitar kuil yang jadi objek wisata, ada banyak banget. Di jalan keluar dari Kinkaku-Ji, banyak stand penjual makanan yang bisa dijadiin oleh-oleh. Terus orang Jepang itu nggak pelit bagiin sampel makanan! Saya ditawarin sampel kacang berbalut wasabi (yang akhirnya nggak saya makan karena saya emang nggak doyan wasabi) dan dango rasa teh hijau. Enak syekali sis dan bro. Saya dan Izzati kemudian beli dango buat ngemil di jalan sekaligus buat oleh-oleh ayah serta ibu di rumah. Seisi rumah saya doyan oleh-oleh dango ini btw, termasuk Ayah yang lidahnya sangat enggak Jepang, so dango-nya emang beneran enak.

Destinasi kedua kami adalah, tak lain dan tak bukan, Kiyomizu-dera! Setelah dari Kinkaku-Ji, saya dan Izzati naik bis sampe Shijo Kawaramachi, terus naik bis lagi ke Gojozaka. Kami berdua nyasar lagi di sini. Waktu kami turun di Shijo Kawaramachi, kami bingung harus lanjut naik bis nomor berapa dan dari mana. Terus kami inisiatif nanya ke bapak-bapak petugas bis yang kebetulan ada di halte seberang jalan. Menurut beliau, kami harus jalan kaki ke halte E buat bisa naik bis yang dimaksud. Kami pun diinstruksikan buat nyebrang perempatan di depan, terus nanti belok kiri. Saya dan Izzati pun melangkah dengan mantap sesuai petunjuk yang dikasih petugas tersebut.

Tapi kok udah jalan lama nggak nyampe-nyampe..

Habis nyebrangin perempatan, saya dan Izzati jalan lurus. Kami ngelewatin halte C dan D, tapi setelah itu, halte E-nya nggak ada. Waktu ketemu belokan ke kiri juga malah masuk pasar entah apa. Ngomong-ngomong, saya dan Izzati nemu Cat Cafe ketika nyasar ini. Ternyata beneran ada ya. Tarifnya sekian ratus yen per jam. Saya pribadi nggak begitu suka kucing, tapi pas ngeliat kucing-kucing di dalem kafenya lewat jendela kok lucu-lucu amat ya?

Bingung harus kemana, saya pun berusaha inget-inget lagi petunjuk yang tadi dikasih tau sama petugas bisnya. Pokoknya beliau ngasih tau tiga poin; "shingo o watatte" (nyebrang perempatan), "hidari ni magatte" (belok kiri), dan "massugu itte" (lurus terus).

Kemudian saya sadar.

S : Zat
I : Kenapa Na
S : Tadi bapak-bapaknya bilang "massugu itte" itu sebelum atau sesudah "shingo o watatte" ya
I : ...Gatau. Ai syia

Hahaha sumpah ya skip parah!! Akhirnya saya dan Izzati balik lagi ke perempatan sebelumnya setelah jalan lumayan jauh, terus langsung belok persis di perempatan itu. Ternyata bener dong. Sekitar 100 meter dari perempatan, halte E-nya ketemu. Ternyata kami disuruh lurus terusnya itu sebelum nyebrang perempatan, bukan setelah nyebrang perempatan. Ujung-ujungnya saya dan Izzati cuma bisa ketawa-ketawa lagi. Nggak apa-apa lah ya Zat, lumayan kan jadi nemu toko sarung tangan di jalan hohoho (sarung tangan Izzati ilang sebelah geng, jadi dia beli sarung tangan baru). Emang dasar kelakuan (padahal keesokan harinya, giliran sarung tangan saya yang ilang sebelah).


Usai balada nyasar cari halte, kami pun berhasil naik bis ke halte Gojozaka dan langsung jalan menyusuri Higashiyama ke Kiyomizu-dera. Jalan menuju Kiyomizu-dera ini sama kayak jalan di Gion Shirakawa--nggak beraspal, tapi ber-paving block. Dan jalannya naik mendaki ke atas! Higashiyama sendiri literally means "east mountain", jadi Kiyomizu-dera-nya ada di ujung jalan nanti, di puncaknya. Higashiyama ini dipadati sama toko souvenir, makanan, dan tempat sewa kimono. Tempat yang sangat recommended buat belanja oleh-oleh di Kyoto.

Saya dan Izzati pake kimono di sini!

Kami udah reservasi sewa kimono sejak akhir tahun lalu. Tempat sewanya ada di Higashiyama, super deket ke Kiyomizu-dera. Begitu sampe di tempat sewa kimono ini, kami langsung dijelasin perihal sewa kimononya, apa aja yang harus dipilih, dan lain sebagainya (dengan bahasa Jepang yang nggak mampu sepenuhnya saya pahami, sampe harus ngomong "maaf" dan "saya nggak ngerti" berkali-kali biar dia jelasin ulang). Pegawai ini padahal bilang ke saya, dia bakal jelasin pake bahasa Jepangnya cuma sedikit aja, eh nggak taunya malah ngomong full. Sial.

Urusan perkimonoan ini makan waktu sampe 1 jam 30 menit, mulai dari milih kimono, obi, tas, sampe akhirnya dipakein. Saya sama Izzati pake acara disuruh milih ulang kimononya pula. Kimono yang kami pilih di awal ternyata adalah kimono dengan harga sewa 5000 yen yang nyasar di rak 4000 yen. Masih nggak ngerti gimana kasusnya bisa sampe kayak gitu.

Selepas milih kimono beserta perintilannya, kami naik ke lantai atas dan ganti baju buat pasang kimono. Kimono ini rupanya berlapis tiga; pertama-tama, saya dipakein jubah putih tipis, terus jubah putih yang agak tebal, baru kimono bermotifnya. Di antara jubah-jubah ini, perut saya diiket pake tali berkali-kali. Dipasangin semacam handuk juga. Begitu selesai dipasangin semuanya--termasuk obi yang dipasang paling akhir--rasanya adalah.. pengap. Gils, jadi susah napas, berasa pake korset. Tapi kimononya cantik parah...................

Dengan ini saya mendeklarasikan bahwa saya cinta mati sama kimono.

Sungguh.

Barang-barang esensial kayak dompet, handphone, dan sejenisnya kami pindahin ke tas kecil yang bakal kami bawa-bawa selama berkimono, sementara barang kami lainnya dititipin di tempat sewa. Terus kami keluar dengan kaki berbalut tabi (kaos kaki tradisional Jepang) dan geta (sandal atau bakiak khas Jepang). Oiya, saya dan Izzati juga pake scarf buat menangkal angin. Tadinya kami mau pake haori (luaran kimono yang recommended dipake ketika dingin), tapi kok motifnya tabrakan. Sayang juga dipikir-pikir kalo harus nutupin motif kimono kami dengan pake haori lagi. Harga sewa haori juga relatif lebih mahal, jadinya pake scarf aja, deh. Saya dan Izzati pun lanjut jalan ke Kiyomizu-dera dengan berkimono.

Fakta yang menarik dan cukup mengejutkan soal pake kimono adalah; pake kimono ternyata hangat dan jalan pake geta ternyata empuk. Geta yang saya dan Izzati pake emang nggak bermodel kayu tok, tapi ada bantalan dan lapisan hitamnya lagi yang bikin bakiak ini nggak keras. Sepatu kami bahkan kalah nyaman sama geta. Dan hangatnya kimono itu.. superb. Bagian tangan dan kaki emang terasa dingin, tapi dinginnya itu dingin yang.. yaudah aja. Nggak gimana-gimana. Bagian badan saya nggak terasa dingin sedikit pun. Kimono yang saya pake siang hari itu, surprisingly, ternyata lebih hangat dibanding empat lapis pakaian (termasuk coat berat dan tebal) yang saya kenakan selama ini.


Kalau Meiji Jingu adalah tempat favorit saya di Tokyo, maka Kiyomizu-dera adalah tempat favorit saya di Kyoto. Kompleksnya besar banget, kurang lebihnya setara sama Meiji Jingu. Bedanya, kalo Meiji Jingu ada di tengah kota, Kiyomizu-dera ini letaknya (bisa dibilang) ada di gunung. Souvenir-souvenir Kiyomizu-dera juga bagus dan banyak macamnya. Omamori (jimat) dan kerincingannya cantik-cantik. Kuil utamanya juga megah, tamannya super luas..

Saya dan Izzati sempet ngobrol cukup banyak sama seorang ibu-ibu penjaga toko souvenir di deket kuil utama. Biarpun udah tua, beliau jago banget bahasa Inggrisnya! Waktu itu kami lagi beli kerincingan, terus beliau nanya kami dari Malaysia atau bukan. Kami jawab Indonesia. Terus kami dipuji, katanya cantik. Hehehehehehe. Ku jadi mayu.

Terus kami ngobrol soal apa makna kerincingan-kerincingan yang dijual di kuil. Awalnya beliau jelasin pake bahasa Jepang, terus diselipin bahasa Inggris dikit-dikit. Katanya, kerincingan itu berarti "keinginan yang terkabul". Terus beliau nanya pake bahasa Inggris ke Izzati, yang Izzati pake di kepala itu apa (kalo nggak salah beliau kira itu turban ya, Zat?). Kemudian Izzati pun dengan semangat ngejelasin soal perkerudungan. Ibu-ibunya tertarik banget, terus katanya kerudung itu bagus dan cantik. Seneng deh rasanya kalo kita dipuji dan budaya kita dihormati.

Anyway, setelah puas keliling Kiyomizu-dera, kami kembali ke Higashiyama. Saya sangat merekomendasikan Higashiyama buat temen-temen yang main ke Kyoto dan mau hunting oleh-oleh, karena ada banyak banget jenis souvenir disini, baik yang bentuknya benda maupun kudapan. Murah-murah pula. Souvenir yang mahal juga ada deng, tapi harganya masih masuk akal dan sebanding sama jenis plus kualitas souvenirnya. Ada banyak juga toko makanan di Higashiyama! Dan banyak toko makanan means sampel yang berlimpah. Saya kedapetan minum ocha, makan rice cake, dan green tea roll gratis. Anaknya emang doyan yang gratisan.

Waktu menyusuri Higashiyama ini, saya dan Izzati nemu satu restoran yang punya menu sup kacang merah pake mochi. Kalo nggak salah, sup ini adalah makanan khas tahun baru di Jepang (saya baru inget sekarang kalo sup ini disebutnya zenzai). Saya dan Izzati langsung masuk ke restoran dan makan zenzai. Restorannya bagus, terus semua pengunjungnya pake kimono.. Terus zenzai-nya enak banget saya nggak paham lagi..... Kayaknya semua yang berkacang merah di Jepang enak deh??

Late new year celebration?

Saya dan Izzati balik lagi buat ngembaliin kimono sekitar jam setengah enam sore. Perasaan saya (dan Izzati) waktu itu sedih banget. Saya nggak mau ngelepas kimononya sama sekali.. Rasanya pengen saya pake terus dan saya bawa pulang aja ke rumah. Soalnya beneran secantik itu. Harus tarik napas panjang dulu pas ngeliat bayangan di cermin sebelum ngelepas kimononya. Tapi berasa lega juga sih. Waktu kimono dan segala ikatan di perut lepas, rasanya kayak sistem respiratori berfungsi seperti sedia kala.


Kalo mengacu ke itinerary, malam terakhir saya dan Izzati di Kyoto diisi dengan free time. Kami bebas mau ngapain aja dan terserah mau pergi kemana. Saya dan Izzati milih buat balik ke Pontocho, makan okonomiyaki di salah satu restoran di sana. Kemaren kami mau kesini, tapi nggak jadi. Restoran ini bisa dibilang fancy karena pajaknya lumayan nonjok, tapi sebanding kok sama atmosfir, makanan, dan pelayanannya. Okonomiyaki yang kami makan enak banget! Saya masih mabok sup kacang merah waktu itu. Awalnya saya pikir saya nggak akan kuat makan okonomiyaki, tapi ternyata kuat-kuat aja hohoho begini deh kalo perutnya karet. Izzati bahkan masih kuat buat nambah satu porsi takoyaki yang doi lahap sendiri.

Terus saya mau norak! Saya sempet ke toilet pas makan malem di restoran ini. Toiletnya ada di ruangan terpisah, jadi harus keluar dulu lewat pintu geser ke taman kecil yang ukurannya sekitar 1 x 1 meter. Waktu saya ngebuka pintu toiletnya.. lampu toiletnya otomatis nyala, terus tutupan toiletnya otomatis kebuka.

Saya mangap. Terus menyerukan sumpah serapah lagi.

Balik-balik dari toilet, yang langsung saya katakan ke Izzati adalah "Zat, maneh harus tau banget tadi toiletnya kayak apa".

Saya dan Izzati makan plus santai-santai sampe sekitar jam 9 malam sebelum akhirnya balik ke hostel. Seharian ini rasanya bahagia banget. Highlight-nya tentu saja Higashiyama, Kiyomizu-dera, dan kimono yang saya kenakan selama jalan-jalan di sana. Ngomong-ngomong, seharian ini cukup tragedi buat Izzati, karena sesuatu terjadi pada kamera dan snapchat-nya waktu di Kinkaku-Ji sama Kiyomizu-dera. Dan salah satunya adalah ulah saya HEHEHE maafkan aku dan refleksku ya Zat. Otw dogeza depan Izzati.


Baidewei lagi, Izzati kembali main gatcha sesampainya di stasiun. Ucet ini anak emang doyan banget deh main gatcha. Kan suka konyol. Saya nggak ngerti doi udah keluar berapa ribu yen cuma buat main beginian. Di Shibuya kemaren juga Izzati main gatcha entah berapa kali--udah diomelin dan disuruh berhenti tetep aja nggak nurut. Hidupmu Zat..

Tapi main gatcha emang seru dan nagih, sih. Belum puas dan lega rasanya kalo belum dapet karakter yang dipengenin. Mesin gatcha-nya juga lucu-lucu. Saya dan Izzati nemuin dua macem mesin gatcha Gudetama selama di Jepang. Ada juga gatcha Magical Doremi, Pretty Cure (yang Izzati sangka adalah Magical Doremi), kucing-kucingan, perabot rumah (sumpah penting abis ada gatcha beginian), salary man, dan masih banyak lagi. Jepang emang suka aneh-aneh.


Day 5: Jumat, 29 Januari 2016

Hari terakhir kami di Jepang! Saya dan Izzati sarapan, terus check out dari hostel jam 8 pagi. Cuacanya adalah hujan seharian--dari pagi sampe siang di Kyoto hujannya nggak beres-beres, bahkan pas balik lagi ke Tokyo juga ternyata hujan. Hujannya rintik-rintik kecil yang awet gitu. Dan bentuknya masih air. Dan airnya dingin persis air kulkas. Mati banget kalo harus kehujanan atau basah kuyup gara-gara hujan beginian.

Agenda kami di hari terakhir ini adalah berkunjung ke Fushimi Inari-taisha, kuil shinto utama di Kyoto yang terkenal dengan senbon torii (seribu torii)-nya, dan Nishiki Market. Setelah itu, saya dan Izzati bakal balik lagi ke Tokyo naik shinkansen, terus balik ke airport. Kami naik pesawat pulang yang bakal take off tengah malam. Going back home is getting real, saudara-saudara.

Saya dan Izzati tiba di destinasi pertama tanpa hambatan. Kami naik bis dari Kyoto-eki dan turun di halte Fushimi Inari, tepat di depan jalan masuk menuju kuil. Sama kayak Kinkaku-Ji dan Kiyomizu-dera, ada banyak banget stand makanan di sepanjang jalan masuk Fushimi Inari. Saya ngeliat dango ukuran jumbo yang dipanaskan di tungku besar pake bara api. Karena waktu itu hujan dan saya udah rempong bawa payung, saya nggak kepikiran buat jajan macem-macem lagi yang bisa bikin tambah rempong. Padahal harusnya saya bisa jajan sesuatu ya.. Masih penasaran rasanya sama dango segede gaban itu.

Hari itu suhunya 8 derajat, tapi karena hujan (dan saya juga baru ngeh bahwa hari itu kami pergi ke kaki gunung--Fushimi Inari-taisha emang terletak di kaki gunung Inari), dingin hari itu termasuk kategori dingin bego lagi, kayak hari pertama saya di Tokyo. Saya cuma bisa ngakak aja waktu sadar bahwa saya pergi ke gunung, hujan-hujan, dan di musim dingin pula.

Fushimi Inari-taisha mantap. Saya bisa liat patung rubah dimana-mana. Kalo nggak salah, rubah ini adalah pembawa pesan dari Dewa Inari sekaligus simbol keberuntungan. Dan senbon torii-nya beneran senbon torii. Seribu gerbang torii. Ada banyak banget ya ampun itu bikinnya gimana ya? Cantik banget subhanallah. Selama ini, saya cuma bisa liat Fushimi Inari-taisha dari kartun yang kebetulan saya tonton di TV, yang ceritanya ambil setting di kuil ini. Ketika akhirnya bisa beneran dateng ke Fushimi Inari.. another dream-come-true moment.

Ema di Fushimi Inari-taisha juga lucu-lucu!! Bentuknya nggak konvensional kayak ema yang biasa saya temui di kuil lain. Ema di Fushimi Inari-taisha ini berbentuk rubah dan bisa kita gambar mukanya. Ngeliat muka rubah di ema yang digambar sama orang-orang itu hiburan banget. Ada yang gambar muka konyol, kelewat cakep, sampe ada yang beneran bikin gambar realis rubah nan badass. Saya akhirnya nulis dan gantungin ema juga hehehe. Semoga harapan yang saya tulis bisa terkabul.

Fox-shaped ema at Fushimi Inari-taisha

Setelah semua ini, yang berikutnya terjadi adalah.. nyasar. Lagi.


Saya dan Izzati mau lanjut pergi ke Nishiki Market. Kami beneran nggak ngerti harus naik bis apa, jadi kami nanya ke ibu-ibu yang kebetulan ikut ngantri di halte. Beliau ngejelasin bahwa sebaiknya kami naik kereta aja karena lebih praktis, tapi kalo mau naik bis juga bisa. Katanya saya dan Izzati harus naik bis dua kali, yang pertama harus balik lagi dulu ke Kyoto-eki. Kami pun nurut dan naik bis yang kebetulan sama kayak beliau.

Begitu tiba di Kyoto-eki, ibu-ibu ini (dengan sangat baiknya, emang dasar orang Jepang) nyamperin kami setelah kami semua keluar dari bis. Kami dikasih tau buat naik bis nomor 5 dan turun di Shijo Takakura. Nishiki Market deket banget dari sana. Saya dan Izzati nurut lagi. Dan emang bener sih, waktu ngantri naik bis nomor 5 ini, kami bisa liat tulisan "Nishiki Market" di platform-nya. Kami pun naik ke bis yang dimaksud dan menikmati perjalanan. Karena ngantuk, baik saya dan Izzati sempet tertidur-tidur. Saya juga santai banget dan udah nggak mau pusing mikirin apa-apa lagi, jadi nggak inisiatif buka GPS atau kroscek rute bisnya.

Nggak taunya kok nggak nyampe-nyampe.. Sampe kebawa jauh ke Ginkaku-Ji dan Kyoto University of Art and Design. Saya dan Izzati pun sadar ada yang nggak beres. Kami langsung buka Bus Navi, panduan yang selama ini selalu kami jadikan acuan buat cari jalan maupun rute bis di Kyoto.

Terus beneran nyasar.

Sumpah itu panik. Pemandangan di luar udah kayak mau keluar kota. Waktu itu juga udah siang, sekitar jam 11.30. Saya dan Izzati masih harus ngejar shinkansen jam 3 sore. Akhirnya kami turun (di entah halte apa dan dimana ya Allah kayak di antah berantah) sebelum kebawa jauh ke halte akhir, terus kami langsung pergi ke halte yang ada di sebrang jalan. Kalo menurut Bus Navi, bis yang ngelewatin jalan itu cuma bis nomor 5 yang tadi kami naiki. Makin panik rasanya karena disana nggak ada satu pun orang yang bisa ditanyain.

Hingga akhirnya muncul seorang nenek-nenek.

Nenek-nenek yang cuma seorang.

Beliau kebetulan ikut nunggu bis di halte. Karena nggak ada tanda-tanda bakal datang orang lainnya, saya pun memberanikan diri buat nanya ke beliau (dan bersiap mendengar rentetan penjelasan bahasa Jepangnya yang entahlah, saya bakal bisa ngerti atau nggak). Saya bilang saya mau ke Kyoto-eki. Beliau langsung nyerocos, bantu saya buat ngecek rute bis di platform, ngejelasin bahwa satu-satunya bis yang lewat sana emang cuma bis nomor 5, bakal tiba di halte beberapa menit lagi, dan perjalanannya bakal makan waktu kurang lebih satu jam ke Kyoto-eki. Untungnya saya ngerti!! Huaa nggak bisa bayangin gimana nasibnya kalo sampe nggak ngerti!!

Setelah beliau menjelaskan dan suasana hening sejenak, percakapan inilah yang terjadi.

"We got lost," kata saya.

Sang nenek bengong-bengong. Ternyata emang nggak bisa bahasa Inggris.. Ketika itu saya lupa banget bahasa Jepangnya nyasar apaan, jadi saya muter otak buat cari penjelasan lainnya yang bermakna sama.

"Machigai basu ni norimashita." Saya bilang, saya salah naik bis.

"Ah, kawaisou.." Ya ampun, kasian..

Kemudian kami tertawa miris.

Bis saya dan Izzati lalu muncul nggak sampe semenit kemudian. Sebelum naik bis, saya membungkukkan badan sambil bilang makasih berkali-kali ke sang nenek. Entah gimana kelanjutan ceritanya kalo beliau nggak ada di halte waktu itu. Dan kalo nggak ada Bus Navi di saku coat saya. Pengen nangis rasanya kalo ngebayangin. Pengalaman yang kocak, berkesan, dan bakal selalu diingat sih tentunya.


Yap, acara jalan-jalan saya dan Izzati di Kyoto dengan resmi diawali serta diakhiri dengan nyasar--tur naik bis keliling kota. Kami nggak bisa berhenti ketawa selama perjalanan pulang. Dan bis yang kami tumpangi ini emang beneran berhenti di Shijo Takakura. Kalo bisnya emang lewat sini di jalan pulang--yang notabene jalurnya sama--logikanya bis ini juga ngelewatin Shijo Takakura dong ketika pergi? Menyadari bahwa ada kemungkinan saya dan Izzati skip waktu ngelewatin halte Shijo Takakura sebelumnya, kami cuma bisa tutup mata hati dan telinga.

Kami merelakan rencana buat pergi ke Nishiki Market karena waktu itu udah pukul 1 siang--nggak akan keburu kalo harus wara-wiri dulu ke pasar. Setelah muter-muter stasiun buat cari makan tapi nggak nemu restoran yang pas, saya dan Izzati akhirnya pergi ke konbini dan makan siang di hostel. Selesai makan, kami langsung ambil barang, jalan balik ke Kyoto-eki, dan naik shinkansen ke Tokyo. Kami tiba di Tokyo sekitar jam 6 sore.

Tiba di Stasiun Tokyo pukul 6 sore adalah tersalah 2016, karena Stasiun Tokyo adalah stasiun besar dan jam segitu adalah jam orang-orang pulang kerja. Alhasil.. ya.. begitulah. Saya dan Izzati jadi pejuang yang geret-geret koper di tengah lautan manusia. Semua orang hilir mudik dan jalannya cepet-cepet. They seemed to know where they were going to go, sementara saya dan Izzati clueless. Dan juga lapar..

Saya dan Izzati memutuskan untuk keluar dari stasiun buat cari makan sebelum lanjut naik kereta ke airport. Kami asal milih pintu keluar aja. Kalo nggak salah waktu itu kami keluar di pintu Marunochi (yang bahkan kami nggak tau itu dimana??). Ada cukup banyak restoran self-service di sekitar pintu keluar stasiun, terus kami memilih buat makan donburi. Habis itu pulang, deh.

Oiya. Saya juga makan eskrim lagi di Haneda. Eskrim rasa vanilla and cookies gitu. Enyak.

Dan lima hari liburan di Jepang pun selesai!

Lima hari aja sampe bikin post tiga biji. Gimana kalo lebih dari lima hari, ya..


Kalo harus mendeskripsikan perjalanan saya selama di Jepang dengan satu kata.. apa ya kira-kira? Kayaknya nggak cukup hanya dengan satu kata. Pergi ke Jepang bagi saya itu luar biasa berkesan. Waktu saya mau balik ke Jakarta, yang terus-terusan saya pikirkan mulai dari pertama kali menjejakkan kaki di airport sampe boarding adalah "saya harus kesini lagi suatu hari nanti". Harus.

Sumpah waktu itu saya nggak mau pulang sama sekali. Pengen tinggal disana aja seterusnya..

Semua tentang Jepang juga menarik dan berkesan banget buat saya. Sapaan "ohayou" dari para penduduk yang mereka lontarkan tiap pagi kalo kami papasan di depan rumah atau toko, anjing-anjing lucu yang sering mereka ajak jalan-jalan di pagi atau sore hari, anak sekolahnya yang imut, transportasi publiknya yang tepat waktu, bangunan-bangunan serta jalanannya yang irit space..

Seperti yang sempat saya singgung di bagian sebelumnya, orang Jepang itu kalem-kalem. Dan menurut saya nggak macem-macem. Mereka sangat simpel kalo berbusana. Warna pakaian orang Jepang itu, sepengamatan saya (terlebih di Tokyo), nggak akan jauh-jauh dari item, putih, abu-abu, atau warna pastel dan khaki. Monokrom setengah mampus. Sederhana, tapi tetep keren dan classy.

Orang-orang Jepang juga tertib banget. Mereka pergi kemana-mana dengan jalan kaki, naik sepeda, atau naik transportasi umum. You will never walk alone itu beneran teraplikasikan disini. Nggak ada juga orang-orang yang buang sampah sembarangan atau merokok di ruang publik--mereka cuma boleh ngerokok di area khusus merokok, biasanya berupa bilik di depan stasiun, pinggir jalan, atau taman-taman. Kalo pintu kereta terbuka, orang-orang yang ada di dalam kereta bakal keluar terlebih dahulu, sementara orang-orang yang mau naik pada memberikan jalan sekaligus ngantri di pinggir, baru kemudian masuk ke kereta dengan tertib. Nggak ada acara rebutan bak ibu-ibu rempong Tanah Abang. Waktu naik eskalator, semua orang bakal berdiri di sisi kiri. Sisi kanan mereka bakal dibiarkan kosong buat jalan orang lain yang mau buru-buru.

Semuanya emang super teratur (hingga titik dimana saya berpendapat bahwa semuanya, sadly, nyaris kayak robot), terutama di Tokyo. Tapi saya cinta banget sama Tokyo. Saya adalah orang yang terbilang suka jalan-jalan di kota (asal bukan Kota Jakarta ya btw nuhun pisan adios amigos por siempre). Menurut saya, di kota itu banyak yang bisa diliat dibanding kalo saya pergi ke gunung, desa, atau pantai. Jadi ya.. saya seneng bisa menjelajah Tokyo, terlepas dari segala hiruk-pikuknya yang kadang bikin pusing.

Soal orang Jepang lainnya adalah.. entah kenapa kok mereka cakep-cakep banget?? Ini nggak tau sayanya aja yang bias atau gimana. Tapi saya suka banget ngeliatin cowok-cowok Jepang. Kayak yang keren gitu. Keliatannya kalem dan cool, tapi tetep gentle. Sumpah ya anak SMA ber-gakuran yang saya liat di kereta waktu itu cakep banget huhuhu bunda aku harus gimana.. Terus ada juga cowok keren yang baru pulang kerja waktu saya naik bis di Kyoto.


Anyway, setelah akhirnya merasakan langsung atmosfir Tokyo dan Kyoto kayak apa, sekarang saya jadi lebih mampu menjiwai film atau komik Jepang yang saya lahap. Jadi lebih dapet feel-nya gitu ketika baca atau nonton. Dan saya juga belajar super banyak perihal percakapan bahasa Jepang sehari-hari!

Insight lainnya yang saya dapatkan adalah: ketika kita udah cinta sama suatu negara (atau hal tertentu), ketika akhirnya bisa pergi ke negara (atau melakukan dan mendapatkan hal) tersebut, rasanya ternyata sangat fulfilling. Kita jadi lebih bisa menikmati dan mensyukuri setiap momennya. Mungkin ada temen-temen yang beranggapan, kok saya sampe segininya banget nyeritain tentang jalan-jalan saya di Jepang, padahal kan mungkin biasa aja juga bisa. Tapi karena saya emang udah sepengen itu pergi ke Jepang semenjak kecil, kesempatan ini jadi luar biasa berarti bagi saya. Selain itu, impian hidup saya sendiri adalah bisa jalan-jalan keliling dunia bareng orang tersayang, jadi begitu sedikit demi sedikit impian ini terwujud, rasanya bahagia sekali. Alhamdulillah..

Oiya! Saya juga bersyukur banget bisa pergi ke Jepang sama Izzati. Saya menyadari bahwa travelling itu idealnya emang harus dilakukan bareng partner yang klop. Kalo bahasa saya sih, yang diajak hedon bisa, diajak ngegembel juga bisa. Yang kepribadiannya cocok dan yang interest-nya sama. Saya dapet paket lengkap waktu travelling sama Izzati kemaren. Kepribadian kami emang kadang bertolak belakang--yang satu thinker, yang satu feeler. Tapi saya pikir, karena perbedaan itulah rasanya malah jadi fit.

Saya anaknya kurang suka foto diri, baik yang sifatnya difotoin orang lain maupun selfie, jadi kalo saya jalan-jalan atau pergi ke suatu tempat, nyaris nggak pernah ada bukti konkret bahwa saya pernah pergi ke sana. Foto tempat dan pemandangan sih banyak, tapi perbandingannya sama foto diri.. sekitar 100:1.

Pertengahan tahun lalu saya sempet pergi ke Thailand, terus salah satu senior saya minta dikirimin fotonya. Saya kirimin doi foto Wat Arun--yang tentu saja nggak ada sayanya. Ngapain juga kan saya ngirimin foto diri ke orang. Dan yang senior saya balas dengan kampretnya adalah.. "Kamunya mana? Foto beginian sih di Google juga ada."

Waktu pergi ke Jepang kemaren, ibu saya nitip pesan lainnya. Katanya saya harus foto di setiap tempat. Lah gimana caranya ya, anaknya mageran foto begini. Untunglah ada Izzati yang selalu mengingatkan saya buat foto diri. Kalo dibandingin sama saya, Izzati emang jauh lebih doyan foto-foto, jadi koleksi foto diri saya selama jalan-jalan di Jepang kemaren sangat terjamin karena keberadaan doi. Hehehe. Nggak nyesel sama sekali karena jadi banyak foto kenang-kenangan.

Laluuuu soal kemampuan spasial! Kemampuan spasialnya Izzati ternyata.. menyedihkan ya, Zat :') Izzati sendiri bahkan mengakui kalo doi nggak unggul sama sekali sama segala urusan navigasi serta baca peta, sehingga kemampuan spasial saya pun otomatis mengisi kekosongan yang ada. Saya juga nggak jago-jago amat sih tentunya dibanding cowok, tapi ya it's sufficient to guide us along the way lah.

So, kalo minjem bahasanya Izzati sih, thank you for bearing with me ya, Zat. Ku senang dan bersyukur sekali bisa jalan-jalan sama Izzati. Hayu pisan travelling nekad kapan-kapan lagi!


Dengan ini, berakhir sudah cerita perjalanan super berkesan saya ke Jepang minggu lalu! Saya mau ngucapin makasih banyak buat temen-temen yang udah tahan baca cerita saya mulai dari awal sampe akhir. Jago deh kalian, bisa nelen semua bacotan saya sampe tiga part muhehehehe.. Anaknya emang suka perintilan kalo cerita. Sekali lagi, saya juga berharap trilogi mini ini bisa menghibur, menyenangkan, dan bermanfaat untuk semuanya. Siapa tau bisa jadi referensi juga buat temen-temen yang mau pergi ke Jepang.

Sampai jumpa di post berikutnya!

---

Want to jump?
Experiencing Japan: Part 1
Experiencing Japan: Part 2

No comments

© La Valse des Mots
Maira Gall