February 5, 2016

Experiencing Japan: Part 2

Day 2: Selasa, 26 Januari 2016

Hari kedua! Seharian ini suhunya lebih hangat, sekitar 8 derajat di siang sampe sore. Lumayan lah ya naik dua derajat dibanding kemaren. Ditambah lagi saya juga udah terhabituasi, jadi rasanya nggak dingin bego banget kayak hari sebelumnya.

Agenda hari ini adalah pergi ke Ueno, lalu jalan-jalan seharian penuh di Harajuku dan Shibuya. Saya dan Izzati berangkat pukul 7.30 pagi ke stasiun dan tiba di Ueno sekitar setengah jam kemudian. Seperti biasa, beli sarapan di konbini, terus makan dengan tenang di Taman Ueno. Minuman yang kami beli pagi itu beneran susu dan bukannya yoghurt hohoho. Saya dan Izzati kemudian lanjut jalan ke destinasi selanjutnya sehabis sarapan, yaitu Tokyo National Museum.

Isi dari Ueno adalah museum dan museum dan museum dan museum. Mulai dari National Science Museum, Tokyo Metropolitan Art Museum, National Museum of Western Art, dan entah apa lagi, masih banyak banget. Saya dititipin pesan sama ibu saya, katanya kalo pergi ke negeri orang, saya harus ngunjungin museum nasionalnya. Jadilah saya masukin Tokyo National Museum ke dalam itinerary saya.


Harga tiket masuk ke Tokyo National museum kalo nggak salah sekitar 600 yen, tapi dengan modal nunjukkin KTM, saya sama Izzati dapet rezeki harga pelajar yang cuma 400 yen saja ekekeke.. Nggak nyangka ternyata KTM kampus bisa berguna juga di sini.

Tokyo National Museum ternyata luas banget! Kalo nggak salah ada sekitar tiga-empat gedung besar yang bisa diakses, dibagi berdasarkan koleksinya. Hari itu ada pameran spesial yang ngedatengin koleksi dari Cina, jadi museumnya terbilang rame. Tua dan muda semuanya ke museum. Semangat banget pula keliatannya.

Saya dan Izzati memilih buat masuk ke gedung utama yang nyimpen koleksi kebudayaan Jepang. Saya ngeliat ukiran kayu, metal works, keramik, dan perkakas sehari-hari orang Jepang zaman dulu yang entah kenapa mewah banget, mulai dari peralatan makan, peralatan dandan, dan lainnya. Ada juga pedang Jepang yang dipake sama para samurai terdahulu! Ternyata pedang Jepang banyak macemnya. Sword guard-nya juga cantik-cantik. Nyeni abis. Laluuu ada juga kimono dan lukisan. Sebenernya koleksi museum ini masih super banyak, tapi karena saya dan Izzati cuma menjadwalkan satu setengah jam buat keliling museum, kami langsung balik ke stasiun setelah selesai muterin gedung utama.


Selanjutnya, kami naik kereta ke Harajuku karena kami mau keeee Meiji Jingu! Begitu keluar dari stasiun Harajuku, kami langsung disapa sama Takeshita-dori yang letaknya persis di seberang jalan. Izzati langsung excited karena doi tau soal Takeshita-dori dari komik Miiko. Katanya Miiko beli crepes di Takeshita-dori, terus beli mainan di Kiddy Land deket sana. Saya dan Izzati baru bakal ke Takeshita-dori setelah pergi ke Meiji Jingu, jadi cerita soal Takeshita-dori-nya ditunda dulu ya.

Saya dan Izzati nyasar pas mau ke Meiji Jingu.

Begitu keluar stasiun, harusnya kami langsung belok kanan. Sekitar 100 meter dari sana udah sampe gerbang masuk kompleks Meiji Jingu. Tapi kami malah belok kiri, terus nggak tau kemana, disuruh muter jauh banget sama GPS-nya. Begitu balik lagi ke jalan yang bener, saya sama Izzati cuma bisa ngakak.


Kalo saya harus mengurutkan tempat favorit saya selama berkunjung ke Tokyo, Meiji Jingu ada di posisi nomor satu. Subhanallah cantiknya. Subhanallah 100 kali. Saya suka banget. Kompleks dan tamannya super luas dan asri. Senso-Ji nggak ada apa-apanya. Ada dua rak super besar yang diisi sama puluhan barel wine dan sake. Kuil utamanya juga besar dan bagus banget, plus ada juga pohon besar yang dikelilingi sama rak penuh ema di deket sana. Dan di Meiji Jingu ini, saya narik omikuji!

Omikuji ini bisa disebut juga fortune telling paper, isinya adalah puisi yang ditulis sama Kaisar Meiji dan Permaisuri Shoken. Bentuknya kertas yang digulung-gulung, dan satu kertas berisi satu puisi. Ketika kita narik omikuji, kita nggak tau isi kertasnya apa, jadi semacam ambil undian gitu. Menurut keterangan di kuil, setiap omikuji yang kita ambil pasti berarti sesuatu buat kita.

Begitu saya baca omikuji saya, emang bener sih. Relevan banget sama isu hidup yang lagi saya pikirin belakangan ini. Saya sendiri langsung ketawa pas baca. Percaya nggak percaya loh ya.

The 100-yen-sekali-tarik Omikuji

Berikutnya kami ke Takeshita-dori! Takeshita-dori ini bisa dibilang sebuah jalan kecil yang isinya fashion store, tempat makan, dan toko souvenir. Banyak juga tax-free shop di sini. Beli barang-barang di Jepang emang selalu ditambah pajak btw, kalo nggak salah 8% atau apa. Dan di Takeshita-dori ini, toko crepes super menjamur, tapi entah kenapa saya sama Izzati nggak beli crepes (kenapa ya Zat?). Waktu itu kayaknya saya udah overwhelmed sama betapa penuh dan hiruk pikuknya Takeshita-dori, plus pusing cari oleh-oleh buat dibawa pulang ke Bandung, jadi udah nggak kepikiran jajan macem-macem lagi.

Tapi saya dan Izzati sempet mampir ke konbini dan beli eskrim deng. Salah satu senior saya yang udah pernah pergi ke Jepang menyarankan buat coba berbagai jenis eskrim selama di sana, karena macemnya banyak, enak-enak, dan murah-murah (dan emang bener). Awalnya saya belum bisa menerima konsep makan eskrim ketika winter, tapi begitu dicoba, oke-oke dan enak-enak aja rupanya. Nggak jadi pilek atau sakit tenggorokan juga.

Saya beli eskrim green tea. Izzati juga sama, tapi eskrim doi ada almond-nya. Mantap.

Lokasi Harajuku dan Shibuya kebetulan bersebelahan, jadi kalo emang niat dan kuat, bisa banget ditempuh dengan jalan kaki. Saya nemu satu jalan yang cukup terkenal dan jadi penyambung antara Harajuku-Shibuya, namanya Cat Street. Saya dan Izzati kemudian jalan keluar dari Takeshita-dori menuju Cat Street ini. Rencananya, kami mau jalan lewat Cat Street ke Shibuya, sekalian mampir ke sebuah kedai gyoza yang ngetop disana.

Sayang beribu sayang saudara-saudara; kedai gyoza yang saya idam-idamkan ternyata pake pork buat semua menunya. Saya langsung menjerit dalam hati pas udah masuk, duduk manis, terus dikasih tau sama pelayan kedainya. Sedih sekali karena seharian itu udah ngidam gyoza..

Tapi orang Jepang baik-baik deh. Mereka itu super ramah dan helpful. Tiap kali masuk toko, disambutnya luar biasa baik dan ramah. Kalo ditanya juga beneran baik dan membantu banget. Karena saya travelling sama Izzati yang berjilbab, tiap kali mau makan, kami pasti dikasih tau sama orang restorannya kalo emang menu mereka ada yang nggak halal, sekali pun kami nggak nanya. A wonderful kindness, consideration, and hospitality sekali.


Cat Street ternyata adalah jalan yang dipenuhi kafe serta distro lokal yang high-end. Meski demikian, jalan ini terbilang sepi dan tenang banget. Saya dan Izzati nemu sebuah toko super lucu yang jual berbagai pernak-pernik khas cewek. Bagian terbaiknya adalah, barang-barang di toko ini (secara sangat ajaib) super duper murah. Barang-barang yang biasanya saya temui dengan kisaran harga 300-800 yen, disini dijual 100-500 yen saja, dengan model dan kualitas yang super bagus plus imut. Sampe sekarang saya juga nggak ngerti kok harganya bisa murah banget, tapi ya hepi aja bisa belanja banyak dengan budget minim. Muhehehe.

Saya dan Izzati jalan dan jalan dan jalan.. terus tau-tau udah sampe Shibuya lagi aja.


OH! Kami nggak sengaja menemukan sebuah toko CD yang super ngetop di Jepang (atau Tokyo, lebih lokalnya) setibanya kami di Shibuya. Toko ini berulang kali muncul di GALS! sebagai toko CD favoritnya Otohata dan muncul juga di film Kanojo wa Uso o Aishisugiteru yang sempet saya sebut-sebut di post pertengahan tahun lalu (yang ada Takeru Sato-nya, aktor Jepang favorit saya hehehe luv dia banget deh). Toko ini tak lain dan tak bukan adalaaaah Tower Records!

Kebetulan saya emang lagi nyari sebuah CD lagu, jadi saya langsung masuk tanpa basa-basi lagi. Tower Records ini adalah gedung sembilan lantai yang isinya CD, DVD, stationary, dan kafe. Setelah berusaha nyari CD-nya sendiri dan nggak nemu, saya akhirnya nyerah dan nanya ke pegawai toko. Terus saya dianterin ke sebuah rak di lantai tiga. TERUS BENERAN ADA DONG CD-NYA.

GILS.

Jadi ceritanya adalah.. saya nonton sebuah film Jepang waktu libur pertengahan tahun lalu. Judulnya Kiyoku Yawaku. Sama kayak Kanojo wa Uso o Aishisugiteru, saya juga sempet menyinggung--bahkan merekomendasikan film ini--di post saya sebelumnya. Saya jatuh cinta bukan hanya sama cerita dan aktor-aktornya, tapi juga sama soundtrack-nya. Saya udah browsing ke sana-sini dan cek situs torrent, tapi tetep nggak nemu file yang bisa saya download. Lagu ini adalah single-nya Saitou Kazuyoshi di tahun 2013, judulnya Kagerou. Waktu akhirnya fix berencana pergi ke Jepang, saya udah bertekad buat nyari single ini di toko CD kalo main ke Tokyo.

Begitu akhirnya beneran dapet.. akkkk! Seneng banget!! Dapetnya di Tower Records pula. Jadi berasa gegedug Shibuya aja saya.

Saitou Kazuyoshi's Kagerou!

Saya dan Izzati kemudian muter-muter Shibuya lagi. We had a bowl of udon for lunch (yang sebenernya telat banget karena waktu itu udah sekitar jam 5 sore). Kocaknya, di restoran udon itu ada karyawan dari Indonesia. Ibu-ibu yang baik banget. Waktu saya dan Izzati masuk restoran dan clueless harus pesan apa, ibu-ibu ini dengan santainya bilang "Dari Indonesia, ya? Mau liat menunya?". Saya sama Izzati cuma bisa cengo sebelum akhirnya ketawa-ketawa sendiri. Ya ampuuun ketemu sesama orang Indonesia! Seneng rasanya! Kami berdua langsung nanya-nanya perihal menunya pake bahasa Indonesia. Ibu-ibu ini dengan baiknya nganterin kami ke meja, ngasih tau mana botol shoyu, dan dimana tempat ambil bawang daun. Konsep restoran ini mirip banget sama Marugame Udon di Indonesia. Izzati sampe kroscek berkali-kali, "Na, ini bukan Marugame kan? Aing gamau jauh-jauh ke Jepang makan Marugame."

Kekonyolan hidup saya strikes back di sini. Intinya adalah: saya minum shoyu. Sekali lagi, saya minum shoyu, saudara-saudara. Waktu ambil minum, saya kira air yang saya tuang dari termos ke gelas itu teh Jepang, dan ketika saya teguk rasanya.. asin.

Saya langsung ngeliat ke termosnya lagi.

Tulisannya jelas-jelas "shoyu".

Terus saya diem ngeliatin gelas di tangan.

Cewek Jepang yang duduk di sebelah saya, yang kayaknya udah mengamati saya berikut isi gelas saya yang exceptionally begitu pekat, langsung menegur dan bilang, "Itu shoyu, ya? Teh nya di sebelah sana". Terus dia nunjuk dispenser besar yang ada di sebelah termos.

Saya cuma bisa bilang "Ah, sou". "Oh, gitu".

Si tololllll wakakakakakakakakakakak!! Habis itu saya sama orang Jepangnya ketawa-ketawa. Itu antara beneran ngakak karena berasa kocak dan konyol sekaligus malu juga. Izzati lagi ke toilet waktu itu. Pas Izzati balik dan saya cerita kalo saya minum shoyu, dengan santainya doi cuma komentar "Nggak kaget sih Na, soalnya dari tadi diperhatiin teh maneh kok item banget".


Habis makan udon, saya dan Izzati lanjut makan sushi. Onde mande. Izzati ngidam banget sushi, sampe minta rekomendasi restoran sushi dari ibu-ibu Indonesia yang kerja di restoran udon tadi. Restoran sushi yang saya dan Izzati datangi ini masih satu payung sama Genki Sushi yang notabene sebenernya udah masuk Jakarta. Restorannya lucu; sistem mesennya pake komputer yang ada di meja masing-masing, terus nanti sushi-nya dianter pake tray otomatis dari dapur. Dan restorannya super penuh sampe harus waiting list. Waktu itu saya masih kenyang makan udon, jadi cuma makan sushi dua piring. Sementara Izzati.. I lost count. Ini anak emang monster sushi.

Puas makan, saya dan Izzati lanjut jalan. Kami masuk ke 109 Shibuya dan mamam 9 lantai (plus entah berapa basement) yang full diisi toko baju, sepatu, aksesoris, dan kosmetik cewek. Kami juga pergi ke The Loft, toko stationary super kece yang berpusat di Shibuya. Ibu saya nitip highlighter yang bisa dihapus. Terus di The Loft beneran ada. Harajuku dan Shibuya emang surganya belanja--berasa segala macem barang ada disini.

Selama dua hari jalan-jalan di Shibuya, saya selalu denger satu lagu pop yang cukup easy listening. Lagu ini diputar lewat pengeras suara di sepanjang jalan. Saking penasaran dan niatnya, saya sampe berhenti sebentar buat nge-Shazam. Judul lagunya Mayonaka no Niji, yang nyanyinya Suga Shikao. Terus karena udah browsing tapi nggak nemu file download-nya, saya sampe beli lagunya di iTunes (niat abis yak hahaha). Lagu ini bakal selalu mengingatkan saya sama suasana Shibuya. Baidewei lagunya emang lumayan enak (nggak seenak Kagerou sih menurut saya), jadi mungkin temen-temen yang penasaran dan tertarik bisa coba denger juga.


Day 3: Rabu, 27 Januari 2016

Saya dan Izzati berangkat lebih pagi dari biasanya, naik kereta pertama dari Asakusa buat pergi ke Tsukiji Fish Market, pasar ikan besar yang ada di Tokyo--yang terkenal sama pelelangan ikan dini hari serta restoran-restoran sushi-nya. Pagi ini entah kenapa kami, dengan kocaknya, agak sial. Saya dan Izzati ketinggalan kereta pertama, tiket saya hilang pas mau keluar di stasiun tujuan, dan kami ternyata salah naik kereta. Harusnya ke Tsukishijo, ini malah turun di Shimbashi dan nekad mau jalan ke Tsukiji Fish Market yang ternyata masih jauh dari sana. Akhirnya kami naik kereta lagi ke Tsukishijo setelah nanya jalan ke petugas stasiun. Begitu sampe Tsukiji Fish Market..

Pasarnya tutup.

Restoran-restorannya juga.

Nggak tau harus komentar apa.

Padahal waktu bikin itinerary, saya dan Izzati udah ngecek bahwa pasarnya cuma libur di hari Minggu. Nggak taunya, waktu ngeliat kalender yang ada di papan pengumuman depan pasar, ada beberapa minggu dalam satu bulan yang hari Rabunya juga libur. Saya sama Izzati diem dulu bentar karena beneran ngablu gitu pasarnya tutup. Akhirnya kami browsing dan cari-cari tempat sarapan di sekitar sana.

Alhamdulillah nemu tempat makan yang enak!

Saya sama Izzati makan semacam sashimi rice bowl di sana. Makan sashimi pagi-pagi itu somehow berasa sehat dan fresh banget. Dan nasinya enak!! Nasi jepang itu lebih lengket dan lebih manis. Terus dipadupadankan sama salmon sashimi, miso soup, shoyu, dan teh hangat. Nggak zonk-zonk amat lah ya jauh-jauh ke Tsukiji karena tetep kebagian makan ikan enak, biarpun nggak bisa berkunjung ke pasarnya.

Balik-balik dari Tsukiji, kami langsung check out dan caw ke Stasiun Tokyo buat naik shinkansen ke Kyoto. Saya dan Izzati udah beli tiket shinkansen untuk pulang-pergi di hari sebelumnya. Shinkansen kami berangkat jam 12 siang dan tiba di Kyoto dua jam empat puluh menit kemudian. Suasana selama di shinkansen sepi. Rata-rata penumpangnya pada tidur, baca buku, denger lagu, atau buka laptop. Kebanyakan juga bawa makanan ringan atau bento yang dibeli di stasiun buat dimakan di kereta selama perjalanan. Saya sama Izzati juga bekel makan siang buat di kereta. Saya makan sandwich sayur sama dorayaki. Ngomong-ngomong, dorayaki yang saya makan itu enak banget ya Allah, sungguh. Isinya kacang merah. Pantesan Doraemon doyan.

Saya dan Izzati ngeliat Gunung Fuji di jalan!! Langsung heboh jeprat-jepret. Dan ternyata kami nggak heboh sendirian, karena orang-orang yang duduk di jajaran kami (termasuk orang Jepangnya sendiri), juga pada fotoin Gunung Fuji dari tempat duduk masing-masing. Suara shutter kamera handphone semuanya kedengeran jelas banget.

Fuji-san

Sampai di Kyoto!

WOW!

Begitu keluar dari shinkansen, saya dan Izzati langsung geret koper ke hostel yang letaknya nggak jauh dari Stasiun Kyoto. I think it is safe to say that we stayed at the coolest hostel in town. Kalo hostel saya dan Izzati di Tokyo bergaya homy serta imut, hostel kami di Kyoto ini bergaya modern dan super minimalis. Saya suka banget, pengen disana terus rasanya. Dapet sarapan gratis, free coffee and tea, plus Mac berinternet 24 jam pula. Sama kayak hostel di Tokyo, staff-staff hostel di Kyoto ini juga muda-muda, gaul, dan jago banget berbahasa Inggris. Izzati bilang, nasib saya dan doi bagus banget buat urusan perhostelan. Hehehe.

Habis check in dan taro barang di kamar, saya dan Izzati pergi naik bis ke Gion. Jalan-jalan pertama kami di Kyoto diawali dengannnn nyasar! Hahaha saya sama Izzati salah naik bis! Sebenernya nggak salah sih. Nomor bisnya bener, tapi kami naik bis yang rutenya muter jauh (bis di Kyoto emang ada yang clockwise dan counter clockwise), jadi aja muter-muter kota dulu, sampe ngelewatin Universitas Kyoto segala (kyaa Kyodai!). Btw saya jadi nyesel, kenapa waktu di Tokyo nggak mampir ngeliat penampakan Todai (Tokyo Daigaku alias Universitas Tokyo) kayak apa.

Persis kayak yang senior saya lainnya ceritain, Kyoto emang kota kecil. Orang-orang pergi naik bis kemana-mana. Senior saya nyaranin buat beli day pass setiap hari buat naik bis selama di Kyoto--katanya saya nggak usah naik kereta sama sekali--dan emang bener. Naik bis selama di Kyoto itu seru! Bisnya sebenernya bergaya jadul, tapi bagus, supirnya ramah-ramah, dan semuanya tepat waktu. Dan memahami rute bis di Kyoto ternyata jauh lebih menantang dibanding mencerna rute kereta di Tokyo. Sumpah ya, dari awal tiba di Kyoto sampe mau pulang, saya masih nggak ngeh sepenuhnya sama segala per-bis-an ini.

Terus, menurut saya, Kyoto adalah kota yang hangat. It gives you some kind of warm feeling inside. Mungkin karena Kyoto ini nggak sebesar, semodern, dan sehiruk pikuk Tokyo. Penduduknya masih ada yang berkimono kemana-mana, walaupun nggak banyak juga. Rata-rata yang pake kimono ini adalah ibu-ibu atau nenek-nenek. Semuanya juga terasa dekat dan terjangkau. Saya masih bisa ngeliat ada banyak rumah (baik yang bergaya tradisional maupun modern), apartemen kecil, supermarket, dan bahkan saya nemu toko buku di kota ini. Selama muter-muter Tokyo kemaren, nggak sekali pun saya ngeliat toko buku.

Oiya! Di Kyoto, saya juga banyak ketemu lansia. Mereka hebat-hebat, masih mandiri dan bisa naik bis kemana-mana sendiri. Saya pernah naik bis, terus lansianya banyak banget, sampe-sampe priority seat-nya nggak cukup buat menampung semua lansia yang ada di sana. Saya sempet sekali-dua kali ngasih kursi saya buat para kakek serta nenek yang nggak kebagian tempat duduk ini, terus mereka kayak kaget bercampur seneng gitu. "Yoroshii desu ka? Arigatou..", katanya. Super nyo.

Anyway, setelah sekitar empat puluh lima menit muterin Kyoto, akhirnya saya dan Izzati tiba juga di Gion. Gion ini terkenal sebagai distriknya geisha. Sepanjang jalan, Gion dipenuhi sama toko-toko dan restoran. Ada juga Yasaka Shrine di ujung jalan, tempat dilaksanakannya Gion Matsuri setiap musim panas. Sore hingga malam hari itu, tujuan saya dan Izzati adalah muter-muter Gion dan Pontocho.

Begitu turun dari bis, saya disambut sama Yasaka Shrine dan pertigaan yang besar. Saya dan Izzati lalu jalan ke Gion Shirakawa. Area ini bisa dibilang jalan paling cantik di Gion, apalagi di malam hari. Jalanan di Gion Shirakawa ini nggak beraspal, tapi semacam berbatu paving block gitu. Kalo kita jalan ke arah Kamo-gawa (Sungai Kamo yang mengalir di sepanjang Kyoto), di sebelah kiri Gion Shirakawa ini ada sungai kecil, pagar-pagar, pepohonan (yang taruhan saya sih pohon sakura), dan restoran yang fancy-nya nggak ketulungan. Restoran-restoran fancy ini nggak cuma ada di sisi kiri, tapi juga ada di kanan jalan. Baik pegawai sama pengunjung restorannya banyak yang berkimono. Gion Shirakawa dihiasi juga sama lampion-lampion merah. Kalo beruntung, kita bisa ketemu geisha juga di area ini. Izzati ngebet banget pengen liat geisha, tapi setelah dua malam muter-muter Gion Shirakawa, sayang beribu sayang nasib kami nggak mujur.

Jalanan Gion Shirakawa ini beneran cantik banget subhanallah.. Jalan ini saya nobatkan sebagai jalan paling cantik yang saya lewatin selama di Jepang. Saya nggak tau penampakannya waktu siang gimana, atau waktu musim semi, musim panas, dan musim gugur gimana, tapi Gion Shirakawa yang saya telusuri malam hari itu menurut saya udah cantik banget. Saya nggak bisa foto atau rekam video karena gelap, jadi ya lanskapnya kenang-kenangan pribadi aja buat saya. Cuma ada di memori. Cie banget ya.

Setelah menyusuri Gion Shirakawa, saya dan Izzati sampe di jalan besar lagi. Kamo-gawa ada di depan. Kami lalu jalan ke perempatan, nyebrang sungai, dan langsung belok kanan, masuk ke gang yang luar biasa kecil. We arrived at Pontocho!


Pontocho adalah area makan di Kyoto yang letaknya persis di sebelah Kamo-gawa. Pontocho juga cantik banget di malam hari. Di sepanjang Pontocho, yang ada hanyalah restoran dan restoran dan restoran, mulai dari yang tradisional sampe yang kebarat-baratan. Restoran-restoran di Pontocho ini terbilang fancy juga, tapi nggak se-fancy restoran di Gion Shirakawa. Saya dan Izzati terus jalan sekedar buat sightseeing sekalian cari makan.

Setelah mencapai ujung gang, akhirnya kami nemu sebuah kedai gyoza. Tempat makan di Jepang rata-rata melampirkan menunya di depan pintu masuk, jadi enaknya cari makan disini, kita bisa selalu liat menu, harga, dan bahkan tanya-tanya soal menunya ke pegawai sebelum memutuskan buat masuk. Hal ini krusial bagi saya pribadi, karena penting bagi saya dan Izzati buat memastikan makanan kami halal. Sebenernya nggak akan 100% halal sih, tapi seenggaknya nggak saklek-saklek amat lah. Nggak yang pegawainya bilang "we use pork" kemudian kami tetep masuk ke restorannya. Ehehe.

Waktu saya ngeliat-liat menu kedai gyoza ini, ternyata mereka punya shrimp dan chicken gyoza. Terus tiba-tiba pegawai kedainya, seorang cowok yang pake apron dan bandana hitam di kepala, ngebuka pintu kedai dan menyapa saya serta Izzati. Dengan hebohnya.

"SELAMAT DATANG!! SILAKAN MASUK!! CARI APA?!"

Terus saya langsung tanya, gyoza yang dijual pake daging apa aja. Pegawai tersebut bilang bahwa mereka pake daging babi, udang, sama ayam. Doi langsung menunjukkan tiga jenis menu yang halal setelah saya bilang saya nggak bisa makan daging babi. Terus dia tanya lagi dengan semangatnya, "GIMANA? OKE?!". Dan setelah saya dan Izzati berunding singkat, kami pun memutuskan buat masuk.

Kami disambut dengan sangat meriah.

Kedainya kecil, tapi rame. Pake banget. Kayaknya waktu itu lagi ada orang Amerika atau New Zealand yang lagi karyawisata, jadi kedainya penuh sama para bule. Terus bule-bule dan pegawai tokonya ini udah kayak sahabatan 10 tahun gitu. Kayak yang sobi banget. Kocak banget ngeliatnya. Pegawai-pegawainya cowok semua, extremely loud, dan koplak-koplak. Bahasa inggris mereka lumayan jago. Pokoknya itu kedai rusuh banget dah ya Allah. Bule-bulenya juga rusuh. Tapi jadi dapet banget atmosfirnya.

Saya dan Izzati makan shrimp, chicken mozarella, plus shrimp-chicken gyoza yang panjangnya setara sama sumpit. Semuanya enak bunda aku mau kesana lagi.. Makannya pake shoyu sama mayones. Alhamdulillah akhirnya kesampean juga saya makan gyoza di Jepang! Di Tokyo nggak dapet, eh dapetnya di Kyoto hehehe. Gyoza dinner rusuh yang super berkesan!


Hari itu entah kenapa dingin banget, jadi setelah makan dan pamitan ke pegawai-pegawai kedai gyoza yang rusuh itu, saya sama Izzati langsung balik ke hostel. Kami udah nggak tau lagi harus ngapain. Waktu jalan ke halte Gion, saya nemu toko buku, game, dan DVD. Isinya manga semua! Saya ngeliat komik-komik yang hingga waktu itu cuma bisa saya liat di situs mangascan. Ada juga UMD ori buat PSP! Dan PS3 edisi FFXIII-2! Uwow banget. Ada banyak banget komik yang harganya 100 yen (sumpah itu murah loh, lebih murah dibanding di Indonesia), meskipun rata-rata komik jadul. Adik sepupu saya nitip apapun Naruto, jadi saya beliin satu komik Naruto di sana. Hepi sekali saya. Kami juga sempet mampir ke Yasaka Shrine, deng. Liat-liat sebentar, terus balik ke halte.

Terus terus terus! Ketika saya dan Izzati sampe lagi di Kyoto-eki (Stasiun Kyoto), kami ngeliat ada couple yang lucu. Waktu itu saya dan Izzati lagi naik eskalator, terus pasangan ini ada di depan kami berdua. Cowoknya berdiri di tangga yang satu tingkat lebih tinggi dibanding ceweknya. Mereka lagi ngobrol entah apa, kayaknya bercandaan atau semacamnya. Saya bisa denger ceweknya bilang "hidoi.." ("kamu jahat"), dan setelah ituuuu.. jengjengjeng! The boy leaned down and kissed the girl.

Uluh..

Nggak ciuman yang gimana-gimana sih. It was just a quick kiss. A peck on the lips. Tapi saya yang ngeliatnya lucu dan nyo aja, soalnya kok so sweet amat kayak di komik atau drama-drama. Langsung kyun-kyun suru deh saya (kayak apa ya.. berasa geli yang gemes gitu). Abisan saya nggak nemu yang kayak ginian di Tokyo.

---

Want to jump?
Experiencing Japan: Part 1
Experiencing Japan: Part 3

No comments

© La Valse des Mots
Maira Gall